BAB I
PENDAHULUAN
Pertanian merupakan
salah satu sektor utama yang menunjang perkembangan perekonomian Indonesia.
Sejak dekade 50-an sampai sekarang, sektor ini selalu menempatkan diri dalam
lima besar pengisi pendapatan negara.
Tetapi ironisnya perkembangan fungsi dan peran sektor ini tidak berdampak
nyata terhadap mayoritas masyarakat yang bergantung didalamnya. Kondisi ini
berjalan sedemikian rupa, sehingga tanpa terasa telah terjadi ketimpangan yang
cukup mencolok yang menimbulkan masalah baru dalam proses pembangunan
nasional.
Di samping kepincangan ekonomi, yang paling meresahkan saat ini adalah lambannya
pertumbuhan atau peningkatan produktivitas komoditas-komoditas unggulan baik
nasional, regional maupun daerah. Kelambanan tidak hanya dalam peningkatan
kuantiĆtas produksi saja tetapi juga dalam peningkatan kualitas dan
kontinuitas. Ketiga hal ini merupakan faktor kunci untuk dapat bersaing dalam
pasar global. Saat ini, jangankan untuk bersaing di pasar global, untuk
memenuhi kebutuhan nasional saja negara kita masih tertatih-tatih, sehingga
dijadikan sebagai pasar yang sangat empuk dan potensial bagi negara-negara
maju.
Penulis berpendapat bahwa ada 3 faktor dominan yang berpengaruh terhadap lambannya
pertumbuhan sektor pertanian khususnya dan sektor ekonomi umumnya, sehingga
menimbulkan “kepincangan”.
Ketiga faktor tersebut adalah 1) Lemahnya posisi tawar petani; 2) Kurangnya SDM
aparat yang melayani masyarakat dan 3) Kurang tepatnya sistem yang diterapkan.
Ketiga faktor tersebut bisa disebut sebagai “tiga pilar” atau tiga dasar utama
dalam proses pembangunan pertanian. Didalamnya terkandung unsur “kualitas
sumberdaya petani”. Bagaimana upaya yang harus dilakukan, agar kualitas sumber
daya petani bisa ditingkatkan sehingga mempunyai wawasan yang luas dan terbuka
serta mudah menerima pembaharuan.
Berdasarkan pengalaman diatas, nampaknya tugas pembinaan dan pembimbingan
serta pengawasan secara serius dan berkelanjutan ini tidak bisa dilakukan oleh
aparat pemerintah. Oleh karena itu Tenaga atau badan ini akan berada antara
petani dan pemerintah, akan menjadi jembatan antara petani dan pemerintah.
Tenaga atau badan ini harus bertanggung jawab atas keberhasilan petani
sebagai binaannya dan juga harus bertanggung jawab kepada pemerintah
yang membiayainya.
Penguatan lembaga petani dan perubahan sistem pemberdayaan ini diyakini
akan mampu merubah keadaan, dan akan mampu menggali dan membangkit potensi
petani dan wilayahnya untuk menggapai “keluarga petani yang sejahtera”.
Pembangunan sebagai upaya sadar dan terencana dalam mengolah dan memanfaatkan
sumberdaya alam untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, idealnya memadukan perimbangan
sosial, ekonomi dan lingkungan dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yaitu pembangunan yang
memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang
untuk memiliki kebutuhan mereka sendiri (WCED, 1987), keseimbangan antara
dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan menjadikan kunci yang harus diperhatikan
dalam merumuskan kebijakan pembangunan.
Pengertian pembangunan berwawasan lingkungan, yaitu lingkungan diperhatikan
sejak mulai pembangunan itu direncanakan sampai pada waktu operasi pembangunan.
Pembangunan berkelanjutan mengandung arti, lingkungan dapat mendukung
pembangunan dengan terus menerus karena tidak habisnya sumberdaya yang menjadi
modal pembangunan (Soemarwoto, 2001). Pembangunan berwawasan lingkungan
maknanya setara dengan pembangunan berkelanjutan, yaitu memanfaatkan sumberdaya
alam dan sumberdaya manusia secara optimal dengan menyelaraskan dan
menyerasikan aktivitas manusia terhadap daya dukung lingkungan. Dengan semakin
terbatasnya sumber daya alam baik dari segi kualitas maupun kuantitas maka
pemanfaatan sumber daya alam tersebut harus dilakukan secara bijaksana dan
terencana dengan baik sehingga dapat menjamin kelestarian lingkungan hidup.
Pembangunan yang ramah lingkungan atau bisa disebut pembangunan berwawasan
lingkungan sudah sepatutnya dipikirkan lebih lanjut oleh setiap komponen
bangsa. Pembangunan berwawasan lingkungan merupakan upaya sadar dan berencana
dalam pembangunan sekaligus pengelolaan sumber daya secara bijaksana dalam
pembangunan.
Setiap warga negara berhak atas kecukupan pangan, hak atas rasa aman, hak atas
penghidupan dan pekerjaan, hak atas hidup yang sehat, hak atas kebebasan
berpendapat serta hak-hak lainnya sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Hak
Asasi Manusia Tahun 1948. Kesemuanya tersebut tidak hanya merupakan tugas
pemerintah saja tetapi juga seluruh warga negara untuk memastikan bahwa hak
tersebut dapat dipenuhi secara konsisten dan berkesinambungan.
Di dalam pasal 27 UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia menjamin setiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, sedangkan pasal 33 UUD
1945, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
Kesejahteraan petani masih rendah dan tingkat kemiskinan relatif tinggi,
meskipun kontribusi sektor pertanian secara keseluruhan sangat besar terhadap
perekonomian nasional, namun kesejahteraan petani tidak mengalami perubahan.
Sekitar 50-60 persen penduduk atau masyarakat Indonesia tinggal di pedesaan.
Selanjutnya, sekitar 70-80 persen kelompok masyarakat ini termasuk golongan
miskin dengan usaha pertanian, perikanan dan kehutanan, yang masih tradisional
dan bersifat subsisten. Minimnya akses terhadap informasi dan sumber
permodalan, menyebabkan masyarakat petani tidak dapat mengembangkan usahanya
secara layak ekonomi.
Pembangunan pertanian yang dilaksanakan selama ini, petani dan kelompok tani
lebih dalam posisi sebagai pelaksana kebijaksanaan pemerintah, lebih diperankan
sebagai obyek pembangunan dan bukan sebagai subyek pembangunan. Pembangunan
pertanian konvensional yang didominansi oleh pemerintah tidak menjamin
keberlanjutan program pembangunan pertanian serta tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip pertanian kerakyatan yang lebih bertumpu pada kemampuan dan
kemandirian petani. Pendekatan pembangunan pertanian perlu diubah dari
pembangunan pertanian berorientasi produksi menjadi pembangunan pertanian
kerakyatan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
BABII
PEMBAHASAN
2.1 KEBIJAKAN
PERTANIAN
Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang
telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan
tertentu. Adapun tujuan umum kebijakan pertanian kita adalah memajukan
pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan
efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan kesejahteraan petani
meningkat. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah baik di pusat maupun di
daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada yang berbentuk
Undang-undang, Peraturan-peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen, keputusan
Gubernur dan lain-lain. Peraturan ini dapat dibagi menjadi dua
kebijakan-kebijakan yang bersifat pengatur (regulating
policies) dan pembagian pendapatan yang lebih adil merata (distributive policies). Kebijakan yang
bersifat pengaturan misalnya peraturan rayoneering
dalam perdagangan/distribusi pupuk sedangkan contoh peraturan yang sifatnya
mengatur pembagian pendapatan adalah penentuan harga kopra minimum yang berlaku
sejak tahun 1969 di daerah-daerah kopra di Sulawesi.
Persoalan yang selalu tidak mudah diatasi adalah
persoalan keadilan. Hampir setiap kebijakan jarang akan disambut dengan baik
oleh semua pihak. Selau ada saja pihak yang memperoleh manfaat lebih besar dari
pihak lainnya dan bahkan ada yang dirugikan. Itulah sebabnya masalah kebijakan
pertanian bukanlah terletak pada banyak sedikitnya campur tangan pemerintah,
tetapi pada berhasil tidaknya kebijakan itu mencapai sasarannya dengan
sekaligus mencari keadilan bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu kebijakan
pertanian yang lebih baik adalah yang dapat mencapai tujuan nasional untuk
menaikkan produksi secara optimal dengan perlakuan yang adil pada pihak-pihak
yang bersangkutan itu.
- Kebijakan Harga
Kebijakan ini
merupakan salah satu kebijakan yang terpenting di banyak negara dan biasanya
digabung dengan kebijakan pendapatan sehingga disebut kebijakan harga dan
pendapatan (price and economic policy).
Segi harga dari kebijakan itu bertujuan untuk mengadakan stabilitas harga,
sedangkan segi pendapatannya bertujuan agar pendapatan petani tidak terlalu
berfluktuasi dari musim ke musim dan dari tahun ke tahun. Kebijakan harga dapat
mengandung pemberian penyangga (support)
atas harga-harga hasil pertanian supaya tidak terlalu merugikan petani atau langsung mengandung sejumlah
subsidi tertentu bagi petani. Di banyak negara seperti; Amerika Serikat,
Jepang, dan Australia banyak sekali hasil pertanian seperti gandum, kapas,
padi, dan gula yang mendapat perlindungan pemerintah berupa harga penyangga dan
atau subsidi. Indonesia baru mulai mempraktekkan kebijakan harga untuk beberapa
hasil pertanian sejak tahun 1969. Secara teoritis kebijakan harga yang dapat
dipakai untuk mencapai tiga tujuan yaitu:
- stabilitas harga hasil-hasil pertanian terutama pada tingkat petani
- meningkatkan pendapatan petani melalui pebaikan dasar tukar (term of trade)
- memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi.
Kebijakan harga di Indonesia terutama ditekankan pada
tujuan pertama yaitu Stabilitas harga hasil-hasil pertanian dalam keadaan harga-harga
umum yang stabil berarti pula terjadi kestabilan pendapatan. Tujuan yang kedua
banyak sekali dilaksanakan pada hasil-hasil pertanian di negara-negara yang
sudah maju dengan alasan pokok pendapatan rata-rata sektor pertanian terlau
rendah dibandingkan dengan penghasilan di luar sektor pertanian.
Tujuan yang kedua ini sulit untuk dilaksanakan di
negara-negara yang jumlah petaninya berjuta-juta dan terlalu kecil-kecil seperti
di Indonesia karena persoalan administrasinya sangat kompleks. Pada prinsipnya kebijakan
harga yang demikian ini merupakan usaha memindahkan pendapatan dari golongan
bukan pertanian ke golongan pertanian, sehingga hal ini bisa dilaksanakan
dengan mudah di negara-negara yang sudah maju dan kaya, dimana golongan penduduk di luar pertanian jumlahnya jauh
lebih besar dengan pendapatan lebih tinggi dibanding golongan penduduk
pertanian. Di negara-negara ini penduduk sektor pertanian rata-rata di bawah 10
persen dari seluruh penduduk, sedangkan di negara kita masih antara 60 persen-70
persen.
Tujuan kebijakan yang ketiga dalam praktek sering dilaksanakan
oleh negara-negara yang sudah maju bersamaan dengan tujuan kedua yaitu dalam
bentuk pembatasan jumlah produksi dengan pembayaran kompensasi. Berdasarkan
ramalan harga, pemerintah membuat perencanaan produksi dan petani mendapat pembayaran kompensasi untuk setiap kegiatan
produksi yang diistirahatkan. Di negara kita, dimana hasil-hasil pertanian pada
umumnya belum mencukupi kebutuhan, maka kebijakan yang demikian tidak relevan. Selain
kebijakan harga yang menyangkut hasil-hasil pertanian, peningkatan pendapatan
petani dapat dicapai dengan pemberian subsidi pada harga sarana-sarana produksi
seperti pupuk/insektisida. Subsidi ini mempunyai pengaruh untuk menurunkan
biaya produksi yang dalam teori ekonomi berarti menggeser kurva penawaran ke
atas.
- Kebijakan Pemasaran
Di samping kebijakan
harga untuk melindungi petani produsen, pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan khusus dalam kelembagaan perdagangan dengan
tujuan yang sama, tetapi dengan tekanan pada perubahan mata rantai pemasaran
dari produsen ke konsumen, dengan tujuan utama untuk memperkuat daya saing
petani. Di negara-negara Afrika seperti Nigeria dan Kenya apa yang dikenal
dengan nama Badan Pemasaran Pusat (Central
Marketing Board) berusaha untuk mengurangi pengaruh fluktuasi harga pasar
dunia atas penghasilan petani. Badan pemasaran ini sangat berhasil di Inggris
yang dimulai sesudah depresi besar tahun 1930 untuk industri bulu domba, susu, telor dan kentang. Di Indonesia
Badan Pengurusan Kopra, Badan Pemasaran Lada pada prinsipnya mempunyai tujuan
yang sama dengan Badan pemasaran Pusat di Afrika dan Inggris.
Masalah yang dihadapi di Indoensia adalah kurangnya
kegairahan berproduksi pada tingkat petani, tidak ada keinginan untuk
mengadakan penanaman baru dan
usaha-usaha lain untuk menaikkan
produksi karena persentase harga yang diterima oleh petani relatif kecil
dibandingkan dengan bagian yang diterima golongan-golongan lain.
Selain kebijakan pemasaran hasil-hasil tanaman
perdagangan untuk ekspor, kebijakan ini meliputi pula pengaturan distribusi
sarana-sarana produksi bagi petani. Pemerintah berusaha menciptakan persaingan yang sehat di antara para pedagang
dengan melayani kebutuhan petani seperti pupuk, insektisida, pestisida dan
lain-lain sehingga petani akan dapat membeli sarana-sarana produksi tersebut
dengan harga yang relatif tidak terlalu tinggi. Jadi disini jelas bahwa kebijakan pemasaran merupakan usaha campur tangan
pemerintah dalam bekerjanya kekuatan-kekuatan pasar. Di satu pihak pemerintah
dapat mengurangi pengaruh kekuatan-kekuatan pasar supaya tidak terlalu
merugikan pedagang dan petani, tetapi di pihak lain persaingan dapat didorong
untuk mencapai efisiensi ekonomi yang tinggi. Dalam praktek kebijakan pemasaran
dilaksanakan secara bersamaan dengan kebijakan
harga.
- Kebijakan Struktural
Kebijakan struktural dalam pertanian dimaksudkan untuk
memperbaiki strukutur produksi misalnya luas pemilikan tanah, pengenalan dan
pengusahaan alat-alat pertanian yang baru dan perbaikan prasarana pertanian
pada umumnya baik prasarana fisik maupun sosial ekonomi.
Kebijakan struktural ini hanya dapat terlaksana dengan
kerjasama yang erat dari beberapa lembaga pemerintah. Perubahan struktur yang
dimaksud disini tidak mudah untuk mencapainya dan biasanya memakan waktu lama.
Hal ini disebabkan sifat usahatani yang tidak saja merupakan unit usaha ekonomi
tetapi juga merupakan bagian dari kehidupan petani dengan segala aspeknya. Oleh
karena itu tindakan ekonomi saja tidak akan mampu mendorong perubahan
struktural dalam sektor pertanian sebagaimana dapat dilaksanakan dengan lebih
mudah pada sektor industri. Pengenalan baru dengan penyuluhan-penyuluhan yang
intensif merupakan satu contoh dari kebijakan ini. Kebijakan pemasaran yang
telah disebutkan di atas sebenarnya dimaksudkan pula untuk mempercepat proses
perubahan struktural di sektor pertanian dalam komoditi-komoditi pertanian. Pada
bidang produksi dan tataniaga kopra, lada, karet, cengkeh dan lain-lain. Dalam
kenyataannya pelaksanaan kebijakan harga, pemasaran dan struktural tidak dapat
dipisahkan, dan ketiganya saling melengkapi.
- Kebijakan Pertanian dan Industri
Ciri-ciri pokok perbedaan antara pertanian dan industri adalah:
- Produksi pertanian kurang pasti dan risikonya besar karena tergantung pada alam yang kebanyakannya di luar kekuasaan manusia untuk mengontrolnya, sedangkan industri tidak demikian.
- Pertanian memproduksi bahan-bahan makanan pokok dan bahan-bahan mentah yang dengan kemajuan ekonomi dan kenaikan tingkat hidup manusia permintaannya tidak akan naik seperti pada permintaan atas barang-barang industri
- Pertanian adalah bidang usaha dimana tidak hanya faktor-faktor ekonomi saja yang menentukan tetapi juga faktor-faktor sosiologi, kebiasaan dan lain-lain memegang peranan penting. Industri lebih bersifat lugas (zakelijk).
Ketiga ciri khusus pertanian ini nampak dalam teori
ekonomi sebagai perbedaan dalam respons permintaan dan penawaran atas
perubahan-perubahan harga.
Elatisitas harga atas permintaan dan penawaran hasil-hasil pertanian
jauh lebih kecil daripada hasil-hasil industri. Misalnya elastisitas harga atas
permintaan radio, buku-buku, mobil dan lain-lain, jauh lebih tinggi daripada
elatisitas harga atas permintaan beras dan bahan pakaian. Hal ini disebabkan
pendapatan sektor industri pada umumnya lebih tinggi daripada pendapatan sektor
pertanian maka elastisitas pendapatan atas permintaan barang-barang hasil
industri lebih besar daripada atas bahan makanan pokok.
- Pendapatan Penduduk Desa dan Kota
Perbedaan kebijakan antar sektor pertanian dan industri
dapat dilihat pula dalam keperluan akan kebijakan yang berbeda antara penduduk
kota dan penduduk desa. Perbedaan pendapatan antara penduduk kota dan penduduk
pedesaan adalah sedemikian rupa sehingga mempunyai akibat dalam pola pengeluaran konsumsi dan perilaku ekonomi lain-lainnya.
Ada tiga hal yang meyebabkan rata-rata pendapatan penduduk kota
lebih tinggi dibanding penduduk desa yaitu:
- kestabilan dan kemantapan pendapatan penduduk kota lebih besar dibanding pendapatan penduduk desa
- lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan yang dapat mendorong kegiatan ekonomi di kota lebih banyak dibandingkan di desa
- lebih banyaknya fasilitas pendidikan dan kesehatan di kota yang memungkinkan rata-rata produktivitas tenaga kerja di kota lebih tinggi.
Salah satu upaya untuk mengurangi perbedaan pendapatan ini adalah dengan
menambah persediaan modal di desa serta mengurangi jumlah tenaga kerja di
pedesaan dan diserap bagi lapangan industri di kota-kota. Dengan lebih
banyaknya investasi di desa misalnya dalam alat-alat pertanian yang lebih
modern, huller , traktor dan juga
dalam pembangunan-pembangunan prasarana fisik seperti jembatan-jembatan baru,
bendungan irigasi dan lain-lain maka timbul adanya keperluan akan peningkatan
keterampilan tenaga kerja. Seorang petani yang mengerjakan sawah dengan bajak
atau traktor dalam waktu yang sama akan mampu menyelesaikan luas sawah yang
lebih besar daripada petani lain yang hanya menggunakan cangkul. Beberapa
faktor yang menjadi penyebabnya adalah:
- Adanya tambahan modal yang berupa pajak dan ternak serta mesin traktor pada petani pertama
- Adanya keahlian dan keterampilan khusus yang diperlukan oleh petani yang menjalankan bajak atau traktor itu.
Kedua unsur inilah yang menimbulkan perbedaan produktivitas tenaga kerja.
2.2 PERMASALAHAN
PERTANIAN
1. Jarak Waktu yang Lebar Antara Pengeluaran dan Penerimaan Pendapatan
dalam Pertanian
Banyak persoalan yang dihadapi oleh petani baik yang
berhubungan langsung dengan produksi dan pemasaran hasil-hasil pertaniannya
maupun yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Selain merupakan usaha, bagi
si petani pertanian juga merupakan bagian dari hidupnya, bahkan suatu cara
hidup (way of live), sehingga tidak
hanya aspek ekonomi saja tetapi aspek-aspek sosial dan kebudayaan, aspek
kepercayaan dan keagamaan serta aspek-aspek tradisi semuanya memegang peranan
penting dalam tindakan-tindakan petani. Namun demikian dari segi ekonomi
pertanian, berhasil tidaknya produksi petani dan tingkat harga yang diterima oleh
petani untuk hasil produksinya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi
perilaku dan kehidupan petani.
Perbedaan yang jelas antara persoalan-persoalan ekonomi
pertanian dan persoalan ekonomi di luar bidang ekonomi pertanian adalah jarak
waktu (gap) antara pengeluaran yang
harus dilakukan para pengusaha pertanian dengan penerimaan hasil penjualan.
Jarak waktu ini sering pula disebut gestation
period, yang dalam bidang pertanian jauh lebih besar daripada dalam bidang
industri. Di dalam bidang industri, sekali produksi telah berjalan maka
penerimaan dari penjualan akan mengalir setiap hari sebagaimana mengalirnya
hasil produksi. Dalam bidang pertanian tidak demikian kecuali bagi para nelayan
penangkap ikan yang dapat menerima hasil setiap hari sehabis ia menjual
ikannya. Jadi ciri khas kehidupan petani adalah perbedaan pola penerimaan
pendapatan dan pengeluarannya. Pendapatan petani hanya diterima setiap musim
panen, sedangkan pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap minggu atau
kadang-kadang dalam waktu yang sangat mendesak sebelum panen tiba.
2.
Tekanan Penduduk dan Pertanian
Persoalan lain yang sifatnya lebih jelas lagi dalam ekonomi pertanian adalah persoalan yang
menyangkut hubungan antara pembangunan pertanian dan jumlah penduduk. Malthus
dalam tahun 1888 menerbitkan buku yang terkenal mengenai persoalan-persoalan
penduduk dan masalah pemenuhan kebutuhan manusia akan bahan makanan. Penduduk
bertambah lebih cepat daripada pertambahan produksi bahan makanan. Penduduk
bertambah menurut deret ukur, sedangkan produksi bahan makanan hanya bertambah
menurut deret hitung. Persoalan penduduk di Indonesia tidak hanya dalam
kepadatannya tetapi juga pembagian antardaerah tidak seimbang. Komposisinya
menunjukkan suatu penduduk yang muda dengan pemusatan penduduk di kota-kota
besar. Tingkat pertambahan penduduk tinggi, karena angka kelahiran tinggi,
sedangkan angka kematian menurun. Menurunnya angka kematian disebabkan oleh
kemajuan kesehatan dan sanitasi.
Ditinjau dari sudut ekonomi pertanian maka adanya persoalan penduduk
dapat dilihat dari tanda-tanda berikut:
- persediaan tanah pertanian yang makin kecil
- produksi bahan makanan per jiwa yang terus menurun
- bertambahnya pengangguran
- memburuknya hubungan-hubungan pemilik tanah dan bertambahnya hutang-hutang pertanian.
3. Pertanian Subsisten
Perkataan subsisten ini banyak sekali dipakai dalam
berbagai karangan mengenai ekonomi pertanian sebagai terjemahan dari perkataan subsistence dari kata subsist yang berarti hidup. Pertanian
yang subsisten diartikan sebagai suatu sistem bertani dimana tujuan utama dari
si petani adalah untuk memenuhi keperluan hidupnya beserta keluarganya. Namun
dalam menggunakan definisi yang demikian sejak semula harus diingat bahwa tidak
ada petani susbsisten yang begitu homogen, yang begitu sama sifat-sifatnya satu
dari yang lain. Dalam kenyataannya petani subsisten ini sangat berbeda-beda
dalam hal luas dan kesuburan tanah yang dimilikinya dan dalam kondisi-kondisi
sosial ekonomi lingkungan hidupnya.
Apa yang sama di antara mereka adalah bahwa mereka
memandang pertanian sebagai sarana pokok untuk memenuhi kebutuhan keluarga
yaitu melalui hasil produksi pertanian itu.
Dengan definisi tersebut sama sekali tidak berarti bahwa petani
susbsisten tidak berfikir dalam pengertian biaya dan penerimaan. Mereka juga
berpikir dalam pengertian itu, tetapi tidak dalam bentuk pengeluaran biaya
tunai, melainkan dalam kerja, kesempatan beristirahat dan partisipasi dalam
kegiatan-kegiatan upacara adat dan lain-lain.
2.3 STRATEGI PEMECAHAN MASALAH EFISIENSI KERJA PETANI
Dewasa ini strategi pembangunan nasional khususnya
pembangunan sektor pertanian dipusatkan pada upaya mendorong percepatan
perubahan struktural, meliputi proses perubahan dari sistem pertanian
tradisional ke sistem pertanian yang maju dan modern, dari sistem pertanian
subsistem ke sistem pertanian yang berorientasi pasar dan dari kedudukan
ketergantungan kepada kedudukan kemandirian.
Perubahan struktural tersebut merupakan langkah dasar
yang meliputi pengalokasian sumber daya (baik alam, manusia maupun mekanik),
penguatan kelembagaan dan pemberdayaan manusia. Dalam pelaksanaannya harus
meliputi langkah-langkah nyata untuk meningkatkan akses kepada aset produktif
berupa teknologi harus dapat dimanfaatkan dan dikembangkan untuk tujuan-tujuan
yang lebih maju dan lebih bermanfaat termasuk antara lain pengolahan tanah,
pemberian air pemilihan bibit unggul, pemupukan, pengendlaian hama dan
penyakit, dan pemanenan secara bijaksana.
Pembangunan pertanian harus diarahkan pada terciptanya
tenaga petani yang terampil dalam mengelola usaha taninya. Juga terbentuknya
masyarakat petani yang maju, bersemangat profesional sehingga mampu menghadapi
tantangan dan permasalahan dalam melaksanakan usaha taninya.
Di Indonesia dapat dicatat adanya berbagai tantangan dan
permasalahan dalam pengelolaan usaha tani yang masing-masing mempunyai
kekhususan yang berbeda-beda seperti kenaikan produksi, peningkatan di bidang
pemasaran dan sistem kredit, serta efisiensi. Dari berbagai ragam tantangan dan
permasalahan tersebut yang sering kali terlupakan oleh pengamat adalah
efisiensi dalam pengelolaan usaha tani terutama yang berhubungan dengan kerja
petani.
1.
Perlunya Efisiensi
Menurut Clifford Geertz dalam Involusi Pertanian,
pemakaian tenaga kerja di sektor pertanian di Indonesia tergolong sangat besar
dibanding negara lain. Di Amerika Serikat kurang lebih 0,002 Kw/ha, Jepang
0,014 Kw/ha, sedang Indonesia 0,127 Kw/ha. Tetapi tenaga kerja manusia di
Jepang dan Amerika Serikat lebih intensif dibanding di Indonesia. Terlihat
adanya perbedaan nyata antara petani Indonesia dengan petani Jepang.
Langkah yang menyebabkan pertanian di Jepang jauh
meninggalkan Indonesia dalam jangka waktu yang sama adalah produktivitas
pekerja. Yang utama dalam produktivitas pekerja (petani) Jepang adalah terjadinya
perbaikan yang esensial dalam praktik pertanian Jepang sesuai dengan produksi
kecil yang efisien. Selain itu di Jepang produktivitas pekerja (petani) bukan
hanya diperhitungkan per ha sawah, tetapi penggunaan tenaga kerja dimanfaatkan
se efisien mungkin dengan menggunakan perhitungan yang baik.
Di Indonesia, efisiensi yang diartikan sebagai
kedayagunaan suatu sumber tenaga dapat menangani suatu bahan, masih belum
mendapat perhatian secara serius. Padahal fungsi perbaikan pertanian adalah
menaikkan pendapatan, kesejahteraan, taraf hidup dan daya beli petani. Sangat
kecilnya efisiensi petani merupakan hambatan bagi faktor-faktor lain yang
merupakan penetrasi pembangunan pertanian.
Perbaikan taraf hidup petani memang tidak dilakukan
dengan hanya memberi landreform (Redistribusi Tanah Pertanian) atau credit
reform (Pemberian Kredit Usaha Tani), tetapi perlu juga diperhatikan situasi
kerja petani. Situasi kerja yang monoton dengan hasil yang rendah menyebabkan
petani mengalami kejenuhan. Ditilik lebih jauh, perlu diakui bahwa kejenuhan
petani ini terus berlangsung. Hal ini disebabkan oleh miskinnya inovasi dan
tiadanya gebrakan-gebrakan baru yang menggairahkan petani.
Hambatan pembangunan dalam sektor pertanian di Indonesia
adalah lambatnya kemajuan teknologi. Kontras teknologi selalu dipersoalkan.
Tingkat teknologi yang rendah menyebabkan petani sulit memperoleh hasil dalam
proses produksi yang maksimal. Kehilangan hasil dalam proses produksi sangat
besar, sementara biaya yang diperlukan sangat tinggi. Contoh paling sederhana
adalah dalam memanen padi. Untuk 9 kg gabah harus dibayar 1 kg gabah. Jika
total hasil panen padi (dalam satu musim tanam) dalam 1 ha adalah 9 ton gabah,
maka biaya pemanenan yang dikeluarkan sebesar 1 ton gabah.
Efisiensi teknologi yang memperkecil tingkat kejerihan
kerja dengan produktivitas tinggi masih dicemburui. Harapan memperkenalkan
teknologi yang efisien selalu dihantui oleh pembengkakan pengangguran terutama
di wilayah perdesaan. Akibatnya jumlah tenaga pengangguran semu dalam sektor
pertanian di Indonesia sangat besar. Tidak jelas lahirnya tenaga kerja semu ini
karena efektivitas kerja rendah yang menyerap banyak tenaga manusia atau memang
karena distribusi kerja yang tidak merata.
2.
Tuntutan Inovasi
Dalam arah kebijakan pembangunan nasional, pembangunan
sektor pertanian diarahkan untuk meningkatkan pendapatan kesejahteraan, daya
beli, taraf hidup, kapasitas dan kemandirian serta akses masyarakat pertanian
dalam proses pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas produksi serta
distribusi dan keanekaragaman hasil pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan
pada pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan yang berbudaya industri,
maju dan efisien ditingkatkan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pembangunan pertanian memang sudah saatnya menganut
pendekatan industri bukan lagi agraris, artinya menangani pertanian secara
industri bukan lagi tergantung sepenuhnya kepada faktor alam. Pengertian
industri dalam hal ini bukan semata-mata mendirikan pabrik, tetapi yang lebih
mendasar adalah mentransformasikan budaya (pola pikir, sikap mental dan
perilaku) masyarakat industri di kalangan para petani.
Kebudayaan industri tersebut antara lain mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut, pertama pengetahuan merupakan landasan utama dalam
menentukan langkah atau tindakan dalam pengambilan keputusan (bukan berdasarkan
kebiasaan semata). Kedua, perekayasan harus menggantikan ketergantungan pada
faktor alam. Ketiga, kemajuan teknologi merupakan sarana utama dalam
pemanfaatan sumber daya. Keempat, efisiensi dan produktivitas sebagai dasar
utama dalam alokasi sumber daya agar penggunaan sumber daya tersebut hemat.
Kelima, mekanisme pasar merupakan media utama transaksi barang dan jasa.
Keenam, profesionalisme merupakan karakter yang menonjol.
Untuk memenuhi tuntutan di atas, alternatif inovasi yang
sampai sekarang tampaknya relevan walaupun tidak terlalu baru adalah penerapan
mekanisasi pertanian (penggunaan alat dan mesin pertanian). Sudah saatnya
dimulai penerapan mekanisasi pertanian dalam sistem pertanian nasional meskipun
tetap dilakukan secara selektif.
Upaya menuju pertanian industri antara lain dapat
dikembangkan dengan peningkatan penggunaan alat dan mesin pertanian dalam
pengolahan tanah dan penanganan pasca panen. Salah satu keuntungan yang
diperoleh adalah terjadinya peningkatan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan
sumber daya alam.
3.
Mekanisasi Dan Distribusi Kerja
Penggunaan alat dan mesin pertanian saat ini memang
sudah merupakan suatu kebutuhan. Efisiensi tinggi saat ini harus mulai
diperkenalkan kepada petani. Hal ini tentu beralasan karena tenaga kerja yang
digunakan saat ini tidak mempunyai kesinambungan (kontinuitas). Seorang buruh
tani hanya akan dibutuhkan pada saat pengolahan tanah dan panen. Pada proses
lain mereka kurang dibutuhkan, akhirnya terjadi pengangguran yang tidak kentara
(disguised unemployment). Pembuangan waktu yang lama dan sia-sia ini
menyebabkan efisiensi menjadi lebih rendah.
Berdasarkan data dalam Involusi Pertanian, pada saat
pengolahan tanah, traktorisasi di Indonesia sangat rendah dibanding negara
lain. Pada hakikatnya Indonesia masih sangat ketinggalan pada pengembangan
traktor. Pemakaian traktor di Indonesia hanya 0,005 Kw/ha. Amerika Serikat 1,7
Kw/ha, Belanda 3,6 Kw/ha dan Jepang 5,6 Kw/ha. Rendahnya pemakaian traktor ini
disebabkan oleh rendahnya perkembangan mekanisasi di Indonesia.
Akibatnya, untuk menggarap tanah seluas 1 ha diperlukan
waktu berhari-hari dan melibatkan banyak tenaga manusia. Tenaga manusia
akhirnya tidak mendapat harga yang layak sehingga produktivitas juga semakin
rendah. Tenaga manusia adalah tenaga riskan, hanya digunakan paling cepat 4
bulan sekali menjadi buruh tani.
BAB III
PENUTUP
Untuk mewujudkan sektor pertanian yang maju, modern,berdaya saing,
dan mampu memberikan kesejahteraan bagi para pelakunya diperlukan upaya-upaya yang terstruktur
dan terukur. Beberapa upaya yang telah dilakukan untuk peningkatan produksi
pangan antara lain :
- Penyusunan Roadmap Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) menuju surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014.
- Audit lahan sawah di pulau Jawa.
- Peningkatan produktifitas melalui peningkatan mutu benih.
- Gerakan peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi ( GP3K ).
- Penelitian dan pelepasan varietas unggul.
- Introduksi teknologi pupuk berimbang.
- Perluasan areal tanam.
- Penyuluhan dan pendampingan.
Dalam rangka menentukan strategi dan kebijakan pertanian
dan pangan pada masa depan kiranya perlu mempertimbangkan beberapa aspek
berikut :
- Strategi pengembangn pertanian di sektor hulu lebih di orientasikan pada pengembangan yang berbasis pasar dan agribisnis modern sehingga terkait dengan bidang lainnya seperti penyediaan bibit unggul yang memadai, perluasan subsidi pupuk, pelaksanaan dan pemantauan kredit pertanian yang murah, teknik dan manajemen pertanian yang profesional.
- Mekanisme penunjukkan rekanan impor beras harus dilakukan secara transparan agar tercapai tingkat harga yang rasional di tingkat konsumen tanpa merugikan petani.
- Kebijakan diversifikasi produk pangan melalui sosialisasi dengan pendekatan ekonomi sehingga dapat mendorong motivasi petani menanam jenis tanamanalternatif selain beras.
- Pembangunan sektor pertanian harus dilakukan secara terintegrasi dengan pembangunan di daerah perdesaan dalam kerangka pembangunan kesejahteraaan masyarakat petani di desa.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.slideshare.net/yudie82/makalah-permasalahan-dan-strategi-pengembangan-sektor-pertanian