Selasa, 06 Januari 2015

Duniaku: Faktor Penyebab Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Da...

Duniaku: Faktor Penyebab Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Da...: A.  Konsentrasi Kegiatan ekonomi  Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyeb...

Duniaku: Teori Pembangunan Ekonomi Daerah

Duniaku: Teori Pembangunan Ekonomi Daerah: A. Teori Basis Ekonomi Teori ini berdasarkan pada ekspor barang (komoditas). Sasaran pengembangan teori ini adalah peningkatan laju p...

Just Share: PRINSIP DASAR TEORI PERTUMBUHAN WILAYAH

Just Share: PRINSIP DASAR TEORI PERTUMBUHAN WILAYAH: A. NeoKlasik 1. Faham keseimbangan Dinamis (Equilibrium)     Mekanisme keseimbangan pasar secara otomatis. 2. Hambatan jarak diabaik...

EKONOMI PEMBANGUNAN



KOORDINASI DALAM PEMBANGUNAN
Perencanaan Pembangunan Dae­­­rah merupakan suatu proses pe­nyu­su­nan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur di dalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber-sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu.
Perencanaan Pembangunan Daer­ah merupakan kegiatan yang tidak mu­dah karena akan berhadapan dengan ber­bagai permasalahan yang sangat kom­pleks dan komprehensif dari suatu keadaan yang ada di wilayah terkait. Kompleksitas permasalahan tersebut su­dah menjadi konsekuensi logis yang ha­rus dihadapi dan tidak mungkin di­hindari.
Ada beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian agar meng­ha­sil­kan rencana pembangunan yaitu:
1.      Aspek Lingkungan.
Dalam hal ini pem­bangunan yang kurang mem­per­hatikan masalah lingkungan akan me­mi­liki nilai relevansi yang rendah ter­ha­dap perubahan, terutama yang ter­kait masalah-masalah ke­­ma­sya­ra­ka­tan sebagai ornamen penting dalam pro­ses pembangunan.
2.      Aspek Potensi dan Masalah.
Potensi dan masalah merupakan fakta yang ada di lapangan dan akan menjadi pijakan awal dalam proses penyusunan perencanaan yang dapat menjadi dasar analisis berikutnya.
3.      Aspek Institusi Perencana.
Di sini institusi perencana harus berperan sebagai fungsi manajemen dalam bidang pe­ren­canaan pembangunan daerah dan ber­­tanggung jawab penuh atas ha­­sil­nya. Institusi perencana harus mampu me­ngkoordinasikan proses pe­ren­ca­naan pembangunan daerah secara int­en­sif dan menyeluruh, serta menjadi mo­tor penggerak yang dapat me­ng­ako­modir, menganalisis, menjabarkan ber­ba­gai permasalahan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda dari institusi tek­nis lainnya, menuju suatu kon­sen­sus bersama dalam wujud rumusan ha­sil perencanaan pembangunan daerah.
4.      Aspek Ruang dan Waktu.
Pe­rencanaan pembangunan daerah me­­­­rupakan salah satu tahapan dalam proses pembangunan daerah, yang akan terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Sehingga tahapan tersebut memiliki keterkaitan dengan tahapan berikutnya. Aspek ini harus jelas menggambarkan suatu kebutuhan dalam waktu yang tepat tentang kapan perencanaan pembangunan daerah mulai disusun, kapan mulai di­ber­la­kukan, untuk berapa lama masa pem­ber­­lakuannya, serta kapan dilakukan evaluasi atau perencanaan ulang.
Selanjutnya aspek legalisasi ke­bi­ja­kan. Dengan adanya legalisasi ke­bi­ja­kan terhadap hasil perencanaan pem­ba­ngunan daerah, implementasinya harus sesuai dengan batasan-batasan yang telah ditetapkan untuk meng­hin­dari atau meminimalkan berbagai efek yang timbul sebagai dampak dari suatu pro­ses pembangunan.
Oleh karena itu, kegiatan pe­ren­ca­naan pembangunan daerah tidak bisa di­la­kukan secara individual, melainkan harus dilaksanakan secara tim, baik dalam arti kerjasama tim antar anggota perencana maupun kerjasama dalam arti institusional. Di samping itu juga, memerlukan keterlibatan berbagai pihak secara interdisipliner sehingga mampu melakukan pengkajian dan analisis yang akurat dalam rangka perumusan hasil perencanaannya.
Namun begitu, tidak berarti bah­wa hal itu akan menjadi suatu ham­batan yang tidak dapat dilampaui, me­lai­nkan justru menjadi tantangan yang akan memberikan pengarus positif terhadap hasil perencanaan pem­ba­ngu­nan da­e­rah jika perencana mampu mengatasinya.
Selanjutnya menghadapi ke­cen­dru­n­gan terjadinya miscomunication sektoral di­an­ta­ra lem­baga-lembaga pemerintahan, swas­ta, maupun masyarakat di­per­lu­kan ko­or­dinasi untuk mengatasinya. Koordinasi hendaknya tidak sekedar di­pan­dang sebagai suatu kewajiban yang per­lu dilakukan untuk memenuhi standar nor­matif, melainkan harus dirasakan se­bagai suatu kebutuhan yang harus di­upayakan pemenuhannya dengan senantiasa menyadari ke­ter­ba­tasan-keterbatasan yang dimiliki, sehingga komitmen untuk me­lak­sa­na­kan ko­or­di­nasi tetap tinggi. Lebih spe­sifik lagi, ko­ordinasi diperlukan sebagai upaya un­tuk menghasilkan pem­b­a­ngu­nan yang efisien dalam pem­anfaatan sum­­ber daya untuk menjamin ter­­ca­pai­nya tu­juan dan sasaran secara optimal.




PEMBANGUNAN PERTANIAN



BAB I
PENDAHULUAN
Pembangunan Pertanian pada hakekatnya merupakan upaya untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya lahan dan air serta sumber daya hayati secara produktif dan berkelanjutan. Upaya tersebut merupakan pengamalan dari amanat Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar­besar kemakmuran rakyat. Upaya di bidang pertanian ditujukan untuk memenuhi kebutuhan penyediaan pangan, bahan baku industri, ekspor, dan lapangan kerja dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, serta menjamin pembangunan yang berkesinambungan.
Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dan dominan dalam kehidupan bangsa Indonesia dari sejak sebelum kemerdekaan. Sebagian besar penduduk berada di perdesaan dan bersandar pada sektor pertanian. Produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat hampir seluruhnya dihasilkan oleh pertanian rakyat. Namun demikian selama masa penjajahan, pertanian rakyat tidak banyak mengalami kemajuan. Bahkan di Jawa, petani pada dasarnya mensubsidi perusahaan besar dengan upah dan sewa tanah yang rendah. Sebagai warisan kolonial struktur pertanian bersifat dualistik, antara sektor pertanian rakyat yang tradisional dengan usaha pertanian besar khususnya perkebunan yang modern yang ditangani oleh kaum pendatang.
Sejak awal kemerdekaan, pemerintah memberikan perhatian khusus pada pembangunan pertanian. Upaya pokok untuk meningkatkan produksi guna memenuhi kebutuhan pangan penduduk dititikberatkan pada peningkatan produktivitas usaha tani. Pada tahun 1947 melalui "Rencana Kasimo", diupayakan peningkatan produksi pangan melalui perbaikan usaha tani. Setelah pengakuan kedaulatan ada "Rencana Kesejahteraan Istimewa" (RKI) yang merencanakan pembangunan Balai Benih, pengelolaan dan perbaikan pengairan perdesaan, pembangunan Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD), Percobaan Pengusahaan Tanah Kering (PPTK), perbaikan lahan kritis, serta pembangunan taman ternak dan pusat­pusat pembibitan ternak. Pada tahun 1958 didirikan "Padi Sentra", yaitu intensifikasi yang dipusatkan pada sentra-sentra produksi padi melalui pemberian kredit natura dan modal kerja kepada petani. Dengan terus meningkatnya impor beras, Kementerian Pertanian Kabinet Kerja memutuskan bahwa dalam tiga tahun sejak tahun 1959 Indonesia harus sudah swasembada beras, dan untuk itu dibentuk Komando Operasi Garakan Makmur (KOGM). Namun upaya-upaya tersebut tidak dapat terlaksana karena situasi politik dan keamanan yang senantiasa bergejolak dan terbatasnya dana yang dapat disediakan untuk mendukung pelaksanaannya.




















BAB II
PEMBAHASAN
1.         Implementasi Dan Tantangan Pembangunan Pertanian
Sejalan dengan perubahan tatanan politik di Indonesia yang mengarah pada era domokratisasi serta perubahan tatanan dunia yang mengarah pada globalisasi, maka pembangunan sektor pertanian dimasa datang dihadapkan pada dua tantangan pokok sekaligus. Tantangan pertama adalah tantangan internal yang berasal dari domestik, dimana pembangunan pertanian tidak saja dituntut untuk mengatasi masalah-masalah yang sudah ada, namun dihadapkan pula pada tuntutan demokratisasi yang terjadi di Indonesia. Sedangkan tantangan kedua adalah tantangan eksternal, dimana pembangunan sektor pertanian diharapkan mampu untuk mengatasi era globalisasi dunia. Kedua tantangan internal dan eksternal tersebut sulit dihindari dikarenakan merupakan kesepakatan nasional yang telah dirumuskan sebagai arah kebijakan pembangunan nasional di Indonesia.
            Menurut Samsul Bahari (Kompas, 15 Maret 2004), persoalan pangan tidak hanya terkait dengan konsumsi dan produksi tetapi juga soal daya dukung sektor pertanian yang komprehensif. Ada empat aspek yang menjadi pra-syarat melaksanakan pembangunan pertanian:
(1)      Akses terhadap kepemilikan tanah,
(2)      Akses input dan proses produksi,
(3)      Akses terhadap informasi dan pasar, dan
(4)      Akses terhadap kebebasan.
            Dari ke-empat pra-syarat tersebut, nampaknya yang belum dilaksanakan secara konsisten adalah membuka akses petani dalam kepemilikan tanah dan membuka ruang kebebasan untuk berorganisasi dan menentukan pilihan sendiri dalam berproduksi. Pemerintah hingga kini selalu menghindari kedua hal itu karena dianggap mempunyai resiko tinggi. Kebijakan pemerintah lebih banyak difokuskan pada produksi dan pasar.
            Dengan melihat potensi sumberdaya yang dimiliki Indonesia, Stighlitz (2004) memberikan beberapa saran yang perlu diperhatikan ketika akan menyusun dan merumuskan kebijakan pembangunan pertanian. Saran-saran tersebut dapat dirangkum sebagai berikut:
(1)     Usaha pengembangan ekonomi lebih difokuskan pada sektor yang menghidupi mayoritas penduduk yaitu penduduk di pedesaan yang berprofesi sebagai petani;
(2)     Program industrialisasi mestinya difokuskan pada aktivitas yang memiliki keterkaitandengan kepentingan mayoritas;
(3)     Pendidikan menjadi pra-syarat utama pembangunan dan ini harus dapat dijangkau oleh golongan mayoritas;
(4)     Dalam pembangunan Pertanian, prioritas bukan sekedar memproduksi komoditi, tapi penciptaan nilai tambah (value added);
(5)     Industrialisasi harus terkait dengan kepentingan petani.
(6)     Sebagian besar hasil pertanian terutama perkebunan masih diolah di luar Indonesia, misalnya karet, crude plam oil/CPO, kakao, dll. Hal ini sebenarnya sangat mendukung industrialiasi, oleh karena itu sebaiknya produk bukan dijual sebagai. barang mentah.
(7)     Terkait dengan efisiensi, program swastanisasi/privatisasi perlu persiapan, karena liberalisasi yang terburu-buru akan sangat berbahaya.
(8)     Peran dan intervensi pemerintah untuk memberi prioritas pada ”mayoritas” tetap diperlukan, bukan sepenuhnya diserahkan pada “market mechanism” (invisible hand).
(9)     Perlu keseimbangan antara kepentingan pasar dan capur tangan dan atau peran pemerintah.
Sumbangan atau jasa sektor pertanian pada pembangunan ekonomi terletak dalam hal:
1.        Menyediakan surplus pangan yg semakin besar kepada penduduk yang kian meningkat.
2.        Meningkatkan akan permintaan barang produk industri dan dengan demikian mendorong keharusan diperluasnya sektor sekunder dan tersier;
3.        Menyediakan tambahan penghasilan devisa untuk impor barang-barang modal bagi pembangunan melalui ekspor hasil pertanian terus menerus; 
4.        Meningkatkan pendapatan desa untuk dimobilisasi Pemerintah;
5.        Memperbaiki kesejahteraan rakyat pedesaan. 
2.                  Prioritas Pembangunan Pertanian Pemerintah
Sampai pada kuartal pertama tahun 2010 ini, Pemerintah tekah menyelesaikan empat prioritas penting, yaitu (1) penyusunan peraturan pemerintah tentang usaha pertanian komersial, (2) pencanangan usaha pangan skala luas (food estate), (3) cetak biru peningkatan nilai tambah dan daya saing industri pertanian berbasis pedesaan, dan (4) cetak biru swasembada pangan berkelanjutan.  Berikut ini penjelasan singkat tentang prospek pencapaian dari keempat prioritas pemerintah tersebut.
Dua prioritas pertama sebenarnya lebih bersifat administratif-birokratis sebagai acuan untuk melaksanakan strategi “pengadaan lahan” di atas, yang telah dituangkan dalam suatu Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Pertanian Komersial yang merupakan penjabaran dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Pertanian. Masyarakat hanya berharap bahwa pelaksanaan dari PP 18/2010 itu tidak boleh terlalu gegabah mengabaikan agribisnis dan pertanian skala kecil, apalagi jika sampai menggusur.
Dua prioritas terakhir memang lebih banyak bersifat strategis dan akademis, sehingga mensyaratkan kedalaman analisis dan akurasi data yang digunakan. Kesalahan atau kealpaan memperhitungkan dua faktor penting tersebut, juga akan dapat menghasilkan kinerja sektor pertanian yang tidak secerah yang diharapkan. Peningkatan nilai tambah akan jauh lebih bermakna jika disesuaikan dengan proses transformasi dari keunggulan komparatif menuju keunggulan kompetitif. Nilai tambah akan bervisi perbaikan kesejahteraan pelaku dan perbaikan ekonomi bangsa jika strategi yang disusun juga sejalan dengan perbaikan kapasitas pelaku dan peningkatan skala usaha. Strategi baru ini pasti mensyaratkan perbaikan penguasaan teknologi dan informasi pasar.


MASALAH PEMBANGUNAN PERTANIAN
Menurut Kabid Ketahanan Pangan Dan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam masalah yang dihadapi, antara lain:
Masalah Pertama yaitu penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya lahan pertanian. Dari segi kualitas, faktanya lahan dan pertanian kita sudah mengalami degradasi yang luar biasa, dari sisi kesuburannya akibat dari pemakaian pupuk an-organik. Berdasarkan Data Katalog BPS, Juli 2012, Angka Tetap (ATAP) tahun 2011, untuk produksi komoditi padi mengalami penurunan produksi Gabah Kering Giling (GKG) hanya mencapai  65,76 juta ton dan lebih rendah 1,07 persen dibandingkan tahun 2010. Jagung sekitar 17,64 juta ton pipilan kering atau 5,99 persen lebih rendah tahun 2010, dan kedelai sebesar 851,29 ribu ton biji kering atau 4,08 persen lebih rendah dibandingkan 2010, sedangkan kebutuhan pangan selalu meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk Indonesia.
Masalah Kedua yang dialami saat ini adalah terbatasnya aspek ketersediaan infrastruktur penunjang pertanian yang juga penting namun minim ialah pembangunan dan pengembangan waduk. Pasalnya, dari total areal sawah di Indonesia sebesar 7.230.183 ha, sumber airnya 11 persen (797.971 ha) berasal dari waduk, sementara 89 persen (6.432.212 ha) berasal dari non-waduk. Karena itu, revitalisasi waduk sesungguhnya harus menjadi prioritas karena tidak hanya untuk mengatasi kekeringan, tetapi juga untuk menambah layanan irigasi nasional. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, 42 waduk saat ini dalam kondisi waspada akibat berkurangnya pasokan air selama kemarau. Sepuluh waduk telah kering, sementara 19 waduk masih berstatus normal. Selain itu masih rendahnya kesadaran dari para pemangku kepentingan di daerah-daerah untuk mempertahankan lahan pertanian produksi, menjadi salah satu penyebab infrastruktur pertanian menjadi buruk.
Masalah Ketiga adalah adanya kelemahan dalam sistem alih teknologi. Ciri utama pertanian modern adalah produktivitas, efisiensi, mutu dan kontinuitas pasokan yang terus menerus harus selalu meningkat dan terpelihara. Produk-produk pertanian kita baik komoditi tanaman panga (hortikultura), perikanan, perkebunan dan peternakan harus menghadapi pasar dunia yang telah dikemas dengan kualitas tinggi dan memiliki standar tertentu. Tentu saja produk dengan mutu tinggi tersebut dihasilkan melalui suatu proses yang menggunakan muatan teknologi standar. Indonesia menghadapi persaingan yang keras dan tajam tidak hanya di dunia tetapi bahkan di kawasan ASEAN. Namun tidak semua teknologi dapat diadopsi dan diterapkan begitu saja karena pertanian di negara sumber teknologi mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara kita, bahkan kondisi lahan pertanian di tiap daerah juga berbeda-beda. Teknologi tersebut harus dipelajari, dimodifikasi, dikembangkan, dan selanjutnya baru diterapkan ke dalam sistem pertanian kita. Dalam hal ini peran kelembagaan sangatlah penting, baik dalam inovasi alat dan mesin pertanian yang memenuhi kebutuhan petani maupun dalam pemberdayaan masyarakat. Lembaga-lembaga ini juga dibutuhkan untuk menilai respon sosial, ekonomi masyarakat terhadap inovasi teknologi, dan melakukan penyesuaian dalam pengambilan kebijakan mekanisasi pertanian
Masalah Keempat, muncul dari terbatasnya akses layanan usaha terutama di permodalan. Kemampuan petani untuk membiayai usaha taninya sangat terbatas sehingga produktivitas yang dicapai masih di bawah produktivitas potensial. Mengingat keterbatasan petani dalam permodalan tersebut dan rendahnya aksesibilitas terhadap sumber permodalan formal, maka dilakukan pengembangkan dan mempertahankan beberapa penyerapan input produksi biaya rendah (low cost production) yang sudah berjalan ditingkat petani. Selain itu, penanganan pasca panen dan pemberian kredit lunak serta bantuan langsung kepada para petani sebagai pembiayaan usaha tani cakupannya diperluas. Sebenarnya, pemerintah telah menyediakan anggaran sampai 20 Triliun untuk bisa diserap melalui tim Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Bank BRI khusus Kredit Bidang Pangan dan Energi.
Yang terakhir menyangkut, Masalah Kelima adalah masih panjangnya mata rantai tata niaga pertanian, sehingga menyebabkan petani tidak dapat menikmati harga yang lebih baik, karena pedagang telah mengambil untung terlalu besar dari hasil penjualan.  
Pada dasarnya komoditas pertanian itu memiliki beberapa sifat khusus, baik untuk hasil pertanian itu sendiri, untuk sifat dari konsumen dan juga untuk sifat dari kegiatan usaha tani tersebut, sehingga dalam melakukan kegiatan usaha tani diharapkan dapat dilakukan dengan seefektif dan seefisien mungkin, dengan memanfaatkan lembaga pemasaran baik untuk pengelolaan, pengangkutan, penyimpanan dan pengolahannya. Terlepas dari masalah-masalah tersebut, tentu saja sektor pertanian masih saja menjadi tumpuan harapan, tidak hanya dalam upaya menjaga ketahanan pangan nasional tetapi juga dalam penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan masyarakat dan penyumbang devisa bagi negara.
EMPAT TARGET UTAMA PEMBANGUNAN PERTANIAN 2010 - 2014
  • Pencapaian Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan
  • Peningkatan Diversifikasi Pangan
  • Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing dan Ekspor
  • Peningkatan Kesejahteraan Petani
Salah satu srategi utama yang harus di kembangkan dalam pembangunan pertanian yaitu:
v    Strategi Swasembada Pangan Berkelanjutan
Strategi swasembada berkelanjutan bagi pangan strategis: beras, jagung, kedelai, gula, dan daging telah mulai menjadi agenda diskusi publik yang menarik. Pencapaian Indonesia dalam peningkatan produksi pangan strategis mungkin perlu diapresiasi, sekalipun masih terdapat kontroversi statistik dan metode penghitungan. Misalnya, angka resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa produksi beras pada 2009 mencapai 62,6 juta ton gabah kering giling atau meningkat 3,71 persen dari 60,3 juta ton produksi tahun 2008. Kecenderungan yang terus meningkat ini tentu sangat diharapkan untuk mendukung pencapaian swasembada berkelanjutan.
Sebagai penutup, pembangunan pertanian juga wajib meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman perkebunan dan perikanan yang juga mampu menghasilkan devisa dari prioritas ekspor selama ini.  Misalnya, kelapa sawit Indonesia masih akan terus merajai pasar dunia, yang kini memperoleh tantangan baru dalam visi keberlanjutan dan pelestarian lingkungan hidup. Karet, kopi, kakao, dan lada Indonesia juga kan terus mampu menguasai pasar dunia. Komoditas perikanan tangkap dan budidaya seperti ikan tuna, cakalang, dan udang masih akan menjadi andalan ekspor dan perolehan devisa yang dapat menggerakkan perekonomian.
Strategi utama yang wajib dijalankan pada komoditas bernilai ekonomi tinggi tersebut adalah bagaimana caranya agar petani dan nelayan (skala kecil) juga mampu menerima manfaat ekonomis yang besar agar lebih bergairah dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensinya. Di sinilah strategi pemihakan dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat madani menjadi sangat mutlak dan tidak dapat ditawar lagi.
Ke depan, strategi peningkatan produktivitas dan efisiensi itu wajib dikemangkan melalui aplikasi teknologi baru, yang dihasilkan melalui perjalanan panjang penelitian dan pengembangan (R and D), serta penelitian untuk pengembangan (R for D). Dunia usaha dan sektor swasta Indonesia secara umum perlu secara nyata melaksanakan kemitraaan strategis dengan peguruan tinggi dan pusat-pusat penelitian pangan, yang sebenarnya tersebut di segenap pelosok Indonesia. Hanya dengan R-and-D dan R-for-D inilah, inovasi baru akan tercipta, sehingga daya saing Imdonesia akan meningkat berlipat-lipat. Dunia usaha atau sektor swasta dapat pula untuk menjadi aktor terdepan dalam mengembangkan diversifikasi pangan, terutama yang berbasis pemanfaatan teknologi dan industri pangan. Diversifikasi pangan yang berbasis kearifan dan budaya lokal akan sangat kompatibel dengan strategi pemenuhan kebutuhan gizi yang seimbang sesuai dengan kondisi demografi Indonesia yang plural heterogen. Dalam hal ini, langkah pengembangan teknologi dan industri pangan disesuaikan dengan kandungan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal.





























BAB III
PENUTUP
Pembangunan pertanian di Indonesia dengan prinsip kemandirian dan berkelanjutan senantiasa harus diwujudkan dari waktu ke waktu, sebagai prasyarat bagi keberlanjutan eksistensi bangsa dalam mengatasi ancaman kelangkaan pangan dunia yang dampaknya semakin terlihat nyata.
Secara hakikat, sejarah tak akan pernah dapat diulang secara sama persis sehingga respons kebijakan yang harus segera diambil pemerintah juga perlu lebih inovatif. Begitu pula konsep dan strategi telah disusun dengan sejumlah perencanaan akan menambah jumlah anggaran produksi pangan, membuka akses pada daerah-daerah yang terisolasi, serta meningkatkan pendapatan para petani. Namun langkah nyata dan pelaksanaan kebijakan di tingkat lapangan sangat ditunggu segera karena ancaman krisis pangan tidak akan dapat diselesaikan hanya di ruang rapat.
















DAFTAR PUSTAKA
http://www.pertanian.go.id/tampil.php?page=program di akses tgl 12 Mei 2014. Pukul 08:30 Wita