Selasa, 04 November 2014

PERMASALAHAN DAN KEBIJAKAN DI BIDANG PERTANIAN



BAB I
PENDAHULUAN
            Pertanian merupakan salah satu sektor utama yang menunjang perkembangan perekonomian Indonesia. Sejak dekade 50-an sampai sekarang, sektor ini selalu menempatkan diri dalam lima besar pengisi pendapatan negara.
            Tetapi ironisnya perkem­bangan fungsi dan peran sektor ini tidak berdampak nyata terhadap mayoritas masyarakat yang bergantung didalamnya. Kondisi ini berjalan sedemikian rupa, sehingga tanpa terasa telah terjadi ketimpangan yang cukup mencolok yang menim­bulkan masalah baru dalam proses pembangunan nasional.
            Di samping kepincangan ekonomi, yang paling mere­sahkan saat ini adalah lam­bannya pertumbuhan atau peningkatan produktivitas komoditas-komo­ditas unggulan baik nasional, regional maupun daerah. Kelam­banan tidak hanya dalam pening­katan kuantiĆ­tas produksi saja tetapi juga dalam peningkatan kua­litas dan kontinuitas. Ketiga hal ini merupakan faktor kunci untuk dapat bersaing dalam pasar global. Saat ini, jangankan untuk bersaing di pasar global, untuk memenuhi kebutuhan nasional saja negara kita masih tertatih-tatih, sehingga dijadikan sebagai pasar yang sangat empuk dan potensial bagi negara-negara maju.
            Penulis berpendapat bahwa ada 3 faktor dominan yang berpengaruh terhadap lam­bannya pertumbuhan sektor per­tanian khususnya dan sektor eko­nomi umumnya, sehingga menim­bulkan “kepincangan”.
            Ketiga faktor tersebut adalah 1) Lemahnya posisi tawar petani; 2) Kurangnya SDM aparat yang melayani masyarakat dan 3) Kurang tepatnya sistem yang diterapkan. Ketiga faktor tersebut bisa disebut sebagai “tiga pilar” atau tiga dasar utama dalam proses pembangunan pertanian. Dida­lamnya terkandung unsur “kualitas sumberdaya petani”. Bagaimana upaya yang harus dilakukan, agar kualitas sumber daya petani bisa ditingkatkan sehingga mempunyai wawasan yang luas dan terbuka serta mudah menerima pemba­haruan.
            Berdasarkan pengalaman diatas, nampaknya tugas pem­binaan dan pembimbingan serta pengawasan secara serius dan berkelanjutan ini tidak bisa dilakukan oleh aparat peme­rintah. Oleh karena itu Tenaga atau ba­dan ini akan berada antara petani dan pemerintah, akan menjadi jem­batan antara petani dan pe­me­rintah. Tenaga atau badan ini ha­rus bertang­gung jawab atas ke­ber­hasilan petani sebagai bi­naan­nya dan juga harus ber­tang­gung ja­wab kepa­da peme­rintah yang mem­­bia­yainya.
            Penguatan lemba­ga pe­tani dan perubahan sistem pem­­berdayaan ini diyakini akan mam­pu meru­bah keadaan, dan akan mampu menggali dan mem­­bangkit potensi petani dan wi­­layahnya untuk menggapai “ke­­lua­rga petani yang sejahtera”.
            Pembangunan sebagai upaya sadar dan terencana dalam mengolah dan memanfaatkan sumberdaya alam untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, idealnya memadukan perimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memiliki kebutuhan mereka sendiri (WCED, 1987), keseimbangan antara dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan menjadikan kunci yang harus diperhatikan dalam merumuskan kebijakan pembangunan.
            Pengertian pembangunan berwawasan lingkungan, yaitu lingkungan diperhatikan sejak mulai pembangunan itu direncanakan sampai pada waktu operasi pembangunan. Pembangunan berkelanjutan mengandung arti, lingkungan dapat mendukung pembangunan dengan terus menerus karena tidak habisnya sumberdaya yang menjadi modal pembangunan (Soemarwoto, 2001). Pembangunan berwawasan lingkungan maknanya setara dengan pembangunan berkelanjutan, yaitu memanfaatkan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia secara optimal dengan menyelaraskan dan menyerasikan aktivitas manusia terhadap daya dukung lingkungan. Dengan semakin terbatasnya sumber daya alam baik dari segi kualitas maupun kuantitas maka pemanfaatan sumber daya alam tersebut harus dilakukan secara bijaksana dan terencana dengan baik sehingga dapat menjamin kelestarian lingkungan hidup. Pembangunan yang ramah lingkungan atau bisa disebut pembangunan berwawasan lingkungan sudah sepatutnya dipikirkan lebih lanjut oleh setiap komponen bangsa. Pembangunan berwawasan lingkungan merupakan upaya sadar dan berencana dalam pembangunan sekaligus pengelolaan sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan.
            Setiap warga negara berhak atas kecukupan pangan, hak atas rasa aman, hak atas penghidupan dan pekerjaan, hak atas hidup yang sehat, hak atas kebebasan berpendapat serta hak-hak lainnya sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Tahun 1948. Kesemuanya tersebut tidak hanya merupakan tugas pemerintah saja tetapi juga seluruh warga negara untuk memastikan bahwa hak tersebut dapat dipenuhi secara konsisten dan berkesinambungan.
            Di dalam pasal 27 UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia menjamin setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, sedangkan pasal 33 UUD 1945, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
            Kesejahteraan petani masih rendah dan tingkat kemiskinan relatif tinggi, meskipun kontribusi sektor pertanian secara keseluruhan sangat besar terhadap perekonomian nasional, namun kesejahteraan petani tidak mengalami perubahan. Sekitar 50-60 persen penduduk atau masyarakat Indonesia tinggal di pedesaan. Selanjutnya, sekitar 70-80 persen kelompok masyarakat ini termasuk golongan miskin dengan usaha pertanian, perikanan dan kehutanan, yang masih tradisional dan bersifat subsisten. Minimnya akses terhadap informasi dan sumber permodalan, menyebabkan masyarakat petani tidak dapat mengembangkan usahanya secara layak ekonomi.
            Pembangunan pertanian yang dilaksanakan selama ini, petani dan kelompok tani lebih dalam posisi sebagai pelaksana kebijaksanaan pemerintah, lebih diperankan sebagai obyek pembangunan dan bukan sebagai subyek pembangunan. Pembangunan pertanian konvensional yang didominansi oleh pemerintah tidak menjamin keberlanjutan program pembangunan pertanian serta tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pertanian kerakyatan yang lebih bertumpu pada kemampuan dan kemandirian petani. Pendekatan pembangunan pertanian perlu diubah dari pembangunan pertanian berorientasi produksi menjadi pembangunan pertanian kerakyatan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.



BABII
PEMBAHASAN
2.1       KEBIJAKAN PERTANIAN
Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum kebijakan pertanian kita adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan kesejahteraan petani meningkat. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah baik di pusat maupun di daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada yang berbentuk Undang-undang, Peraturan-peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen, keputusan Gubernur dan lain-lain. Peraturan ini dapat dibagi menjadi dua kebijakan-kebijakan yang bersifat pengatur (regulating policies) dan pembagian pendapatan yang lebih adil merata (distributive policies). Kebijakan yang bersifat pengaturan misalnya peraturan rayoneering dalam perdagangan/distribusi pupuk sedangkan contoh peraturan yang sifatnya mengatur pembagian pendapatan adalah penentuan harga kopra minimum yang berlaku sejak tahun 1969 di daerah-daerah kopra di Sulawesi.
Persoalan yang selalu tidak mudah diatasi adalah persoalan keadilan. Hampir setiap kebijakan jarang akan disambut dengan baik oleh semua pihak. Selau ada saja pihak yang memperoleh manfaat lebih besar dari pihak lainnya dan bahkan ada yang dirugikan. Itulah sebabnya masalah kebijakan pertanian bukanlah terletak pada banyak sedikitnya campur tangan pemerintah, tetapi pada berhasil tidaknya kebijakan itu mencapai sasarannya dengan sekaligus mencari keadilan bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu kebijakan pertanian yang lebih baik adalah yang dapat mencapai tujuan nasional untuk menaikkan produksi secara optimal dengan perlakuan yang adil pada pihak-pihak yang bersangkutan itu.
  1. Kebijakan Harga
Kebijakan  ini merupakan salah satu kebijakan yang terpenting di banyak negara dan biasanya digabung dengan kebijakan pendapatan sehingga disebut kebijakan harga dan pendapatan (price and economic policy). Segi harga dari kebijakan itu bertujuan untuk mengadakan stabilitas harga, sedangkan segi pendapatannya bertujuan agar pendapatan petani tidak terlalu berfluktuasi dari musim ke musim dan dari tahun ke tahun. Kebijakan harga dapat mengandung pemberian penyangga (support) atas harga-harga hasil pertanian supaya tidak terlalu merugikan  petani atau langsung mengandung sejumlah subsidi tertentu bagi petani. Di banyak negara seperti; Amerika Serikat, Jepang, dan Australia banyak sekali hasil pertanian seperti gandum, kapas, padi, dan gula yang mendapat perlindungan pemerintah berupa harga penyangga dan atau subsidi. Indonesia baru mulai mempraktekkan kebijakan harga untuk beberapa hasil pertanian sejak tahun 1969. Secara teoritis kebijakan harga yang dapat dipakai untuk mencapai tiga tujuan yaitu:
  1. stabilitas harga hasil-hasil pertanian terutama pada tingkat petani
  2. meningkatkan pendapatan petani melalui pebaikan dasar tukar (term of trade)
  3. memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi.
Kebijakan harga di Indonesia terutama ditekankan pada tujuan pertama yaitu Stabilitas harga hasil-hasil pertanian dalam keadaan harga-harga umum yang stabil berarti pula terjadi kestabilan pendapatan. Tujuan yang kedua banyak sekali dilaksanakan pada hasil-hasil pertanian di negara-negara yang sudah maju dengan alasan pokok pendapatan rata-rata sektor pertanian terlau rendah dibandingkan dengan penghasilan di luar sektor pertanian.
Tujuan yang kedua ini sulit untuk dilaksanakan di negara-negara yang jumlah petaninya berjuta-juta dan terlalu kecil-kecil seperti di Indonesia karena persoalan administrasinya sangat kompleks. Pada prinsipnya kebijakan harga yang demikian ini merupakan usaha memindahkan pendapatan dari golongan bukan pertanian ke golongan pertanian, sehingga hal ini bisa dilaksanakan dengan mudah di negara-negara yang sudah maju dan kaya, dimana golongan  penduduk di luar pertanian jumlahnya jauh lebih besar dengan pendapatan lebih tinggi dibanding golongan penduduk pertanian. Di negara-negara ini penduduk sektor pertanian rata-rata di bawah 10 persen dari seluruh penduduk, sedangkan di negara kita masih antara 60 persen-70 persen.
Tujuan kebijakan yang ketiga dalam praktek sering dilaksanakan oleh negara-negara yang sudah maju bersamaan dengan tujuan kedua yaitu dalam bentuk pembatasan jumlah produksi dengan pembayaran kompensasi. Berdasarkan ramalan harga, pemerintah membuat perencanaan produksi dan petani mendapat  pembayaran kompensasi untuk setiap kegiatan produksi yang diistirahatkan. Di negara kita, dimana hasil-hasil pertanian pada umumnya belum mencukupi kebutuhan, maka kebijakan yang demikian tidak relevan. Selain kebijakan harga yang menyangkut hasil-hasil pertanian, peningkatan pendapatan petani dapat dicapai dengan pemberian subsidi pada harga sarana-sarana produksi seperti pupuk/insektisida. Subsidi ini mempunyai pengaruh untuk menurunkan biaya produksi yang dalam teori ekonomi berarti menggeser kurva penawaran ke atas.
  1. Kebijakan Pemasaran  
Di samping kebijakan  harga untuk melindungi petani produsen, pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan  khusus dalam kelembagaan perdagangan dengan tujuan yang sama, tetapi dengan tekanan pada perubahan mata rantai pemasaran dari produsen ke konsumen, dengan tujuan utama untuk memperkuat daya saing petani. Di negara-negara Afrika seperti Nigeria dan Kenya apa yang dikenal dengan nama Badan Pemasaran Pusat (Central Marketing Board) berusaha untuk mengurangi pengaruh fluktuasi harga pasar dunia atas penghasilan petani. Badan pemasaran ini sangat berhasil di Inggris yang dimulai sesudah depresi besar tahun 1930 untuk industri  bulu domba, susu, telor dan kentang. Di Indonesia Badan Pengurusan Kopra, Badan Pemasaran Lada pada prinsipnya mempunyai  tujuan  yang sama dengan Badan pemasaran Pusat di Afrika dan Inggris.
Masalah yang dihadapi di Indoensia adalah kurangnya kegairahan berproduksi pada tingkat petani, tidak ada keinginan untuk mengadakan  penanaman baru dan usaha-usaha lain untuk menaikkan  produksi karena persentase harga yang diterima oleh petani relatif kecil dibandingkan dengan bagian yang diterima golongan-golongan lain.
Selain kebijakan pemasaran hasil-hasil tanaman perdagangan untuk ekspor, kebijakan ini meliputi pula pengaturan distribusi sarana-sarana produksi bagi petani. Pemerintah berusaha menciptakan  persaingan yang sehat di antara para pedagang dengan melayani kebutuhan petani seperti pupuk, insektisida, pestisida dan lain-lain sehingga petani akan dapat membeli sarana-sarana produksi tersebut dengan harga yang relatif tidak terlalu tinggi. Jadi disini jelas bahwa kebijakan  pemasaran merupakan usaha campur tangan pemerintah dalam bekerjanya kekuatan-kekuatan pasar. Di satu pihak pemerintah dapat mengurangi pengaruh kekuatan-kekuatan pasar supaya tidak terlalu merugikan pedagang dan petani, tetapi di pihak lain persaingan dapat didorong untuk mencapai efisiensi ekonomi yang tinggi. Dalam praktek kebijakan pemasaran dilaksanakan  secara bersamaan dengan kebijakan harga.
  1. Kebijakan Struktural
Kebijakan struktural dalam pertanian dimaksudkan untuk memperbaiki strukutur produksi misalnya luas pemilikan tanah, pengenalan dan pengusahaan alat-alat pertanian yang baru dan perbaikan prasarana pertanian pada umumnya baik prasarana fisik maupun sosial ekonomi.
Kebijakan struktural ini hanya dapat terlaksana dengan kerjasama yang erat dari beberapa lembaga pemerintah. Perubahan struktur yang dimaksud disini tidak mudah untuk mencapainya dan biasanya memakan waktu lama. Hal ini disebabkan sifat usahatani yang tidak saja merupakan unit usaha ekonomi tetapi juga merupakan bagian dari kehidupan petani dengan segala aspeknya. Oleh karena itu tindakan ekonomi saja tidak akan mampu mendorong perubahan struktural dalam sektor pertanian sebagaimana dapat dilaksanakan dengan lebih mudah pada sektor industri. Pengenalan baru dengan penyuluhan-penyuluhan yang intensif merupakan satu contoh dari kebijakan ini. Kebijakan pemasaran yang telah disebutkan di atas sebenarnya dimaksudkan pula untuk mempercepat proses perubahan struktural di sektor pertanian dalam komoditi-komoditi pertanian. Pada bidang produksi dan tataniaga kopra, lada, karet, cengkeh dan lain-lain. Dalam kenyataannya pelaksanaan kebijakan harga, pemasaran dan struktural tidak dapat dipisahkan, dan ketiganya saling melengkapi.
  1. Kebijakan Pertanian dan Industri    
Ciri-ciri pokok perbedaan antara pertanian dan industri adalah:
  1. Produksi pertanian kurang pasti dan risikonya besar karena tergantung pada alam yang kebanyakannya di luar kekuasaan manusia untuk mengontrolnya, sedangkan industri tidak demikian.
  2. Pertanian memproduksi bahan-bahan makanan pokok dan bahan-bahan mentah yang dengan kemajuan ekonomi dan kenaikan tingkat hidup manusia permintaannya tidak akan naik seperti pada permintaan atas barang-barang industri
  3. Pertanian adalah bidang usaha dimana tidak hanya faktor-faktor ekonomi saja yang menentukan tetapi juga faktor-faktor sosiologi, kebiasaan dan lain-lain memegang peranan penting. Industri lebih bersifat lugas (zakelijk).

Ketiga ciri khusus pertanian ini nampak dalam teori ekonomi sebagai perbedaan dalam respons permintaan dan penawaran atas perubahan-perubahan harga.
Elatisitas harga atas permintaan dan penawaran hasil-hasil pertanian jauh lebih kecil daripada hasil-hasil industri. Misalnya elastisitas harga atas permintaan radio, buku-buku, mobil dan lain-lain, jauh lebih tinggi daripada elatisitas harga atas permintaan beras dan bahan pakaian. Hal ini disebabkan pendapatan sektor industri pada umumnya lebih tinggi daripada pendapatan sektor pertanian maka elastisitas pendapatan atas permintaan barang-barang hasil industri lebih besar daripada atas bahan makanan pokok.
  1. Pendapatan Penduduk Desa dan Kota
Perbedaan kebijakan antar sektor pertanian dan industri dapat dilihat pula dalam keperluan akan kebijakan yang berbeda antara penduduk kota dan penduduk desa. Perbedaan pendapatan antara penduduk kota dan penduduk pedesaan adalah sedemikian rupa sehingga mempunyai akibat dalam pola pengeluaran  konsumsi dan perilaku ekonomi lain-lainnya.
Ada tiga hal yang meyebabkan rata-rata pendapatan penduduk kota lebih tinggi dibanding penduduk desa yaitu:
  1. kestabilan dan kemantapan pendapatan penduduk kota lebih besar dibanding pendapatan penduduk desa
  2. lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan yang dapat mendorong kegiatan ekonomi di kota lebih banyak dibandingkan di desa
  3. lebih banyaknya fasilitas pendidikan dan kesehatan di kota yang memungkinkan rata-rata produktivitas tenaga kerja di kota lebih tinggi.
Salah satu upaya untuk mengurangi  perbedaan pendapatan ini adalah dengan menambah persediaan modal di desa serta mengurangi jumlah tenaga kerja di pedesaan dan diserap bagi lapangan industri di kota-kota. Dengan lebih banyaknya investasi di desa misalnya dalam alat-alat pertanian yang lebih modern, huller , traktor dan juga dalam pembangunan-pembangunan prasarana fisik seperti jembatan-jembatan baru, bendungan irigasi dan lain-lain maka timbul adanya keperluan akan peningkatan keterampilan tenaga kerja. Seorang petani yang mengerjakan sawah dengan bajak atau traktor dalam waktu yang sama akan mampu menyelesaikan luas sawah yang lebih besar daripada petani lain yang hanya menggunakan cangkul. Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya adalah:
  1. Adanya tambahan modal yang berupa pajak dan ternak serta mesin traktor pada petani pertama
  2. Adanya keahlian dan keterampilan khusus yang diperlukan  oleh petani yang menjalankan bajak atau traktor itu.
Kedua unsur inilah yang menimbulkan perbedaan  produktivitas tenaga kerja.

2.2       PERMASALAHAN PERTANIAN
1.    Jarak Waktu yang Lebar Antara Pengeluaran dan Penerimaan Pendapatan dalam Pertanian
Banyak persoalan yang dihadapi oleh petani baik yang berhubungan langsung dengan produksi dan pemasaran hasil-hasil pertaniannya maupun yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Selain merupakan usaha, bagi si petani pertanian juga merupakan bagian dari hidupnya, bahkan suatu cara hidup (way of live), sehingga tidak hanya aspek ekonomi saja tetapi aspek-aspek sosial dan kebudayaan, aspek kepercayaan dan keagamaan serta aspek-aspek tradisi semuanya memegang peranan penting dalam tindakan-tindakan petani. Namun demikian dari segi ekonomi pertanian, berhasil tidaknya produksi petani dan tingkat harga yang diterima oleh petani untuk hasil produksinya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perilaku dan kehidupan petani.
Perbedaan yang jelas antara persoalan-persoalan ekonomi pertanian dan persoalan ekonomi di luar bidang ekonomi pertanian adalah jarak waktu (gap) antara pengeluaran yang harus dilakukan para pengusaha pertanian dengan penerimaan hasil penjualan. Jarak waktu ini sering pula disebut gestation period, yang dalam bidang pertanian jauh lebih besar daripada dalam bidang industri. Di dalam bidang industri, sekali produksi telah berjalan maka penerimaan dari penjualan akan mengalir setiap hari sebagaimana mengalirnya hasil produksi. Dalam bidang pertanian tidak demikian kecuali bagi para nelayan penangkap ikan yang dapat menerima hasil setiap hari sehabis ia menjual ikannya. Jadi ciri khas kehidupan petani adalah perbedaan pola penerimaan pendapatan dan pengeluarannya. Pendapatan petani hanya diterima setiap musim panen, sedangkan pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap minggu atau kadang-kadang dalam waktu yang sangat mendesak sebelum panen tiba.
2.         Tekanan Penduduk dan Pertanian
Persoalan lain yang sifatnya lebih jelas lagi  dalam ekonomi pertanian adalah persoalan yang menyangkut hubungan antara pembangunan pertanian dan jumlah penduduk. Malthus dalam tahun 1888 menerbitkan buku yang terkenal mengenai persoalan-persoalan penduduk dan masalah pemenuhan kebutuhan manusia akan bahan makanan. Penduduk bertambah lebih cepat daripada pertambahan produksi bahan makanan. Penduduk bertambah menurut deret ukur, sedangkan produksi bahan makanan hanya bertambah menurut deret hitung. Persoalan penduduk di Indonesia tidak hanya dalam kepadatannya tetapi juga pembagian antardaerah tidak seimbang. Komposisinya menunjukkan suatu penduduk yang muda dengan pemusatan penduduk di kota-kota besar. Tingkat pertambahan penduduk tinggi, karena angka kelahiran tinggi, sedangkan angka kematian menurun. Menurunnya angka kematian disebabkan oleh kemajuan kesehatan dan sanitasi.
Ditinjau dari sudut ekonomi pertanian maka adanya persoalan penduduk dapat dilihat dari tanda-tanda berikut:
  1. persediaan tanah pertanian yang makin kecil
  2. produksi bahan makanan per jiwa yang terus menurun
  3. bertambahnya pengangguran
  4. memburuknya hubungan-hubungan pemilik tanah dan bertambahnya hutang-hutang pertanian.
3.    Pertanian Subsisten
Perkataan subsisten ini banyak sekali dipakai dalam berbagai karangan mengenai ekonomi pertanian sebagai terjemahan dari perkataan subsistence dari kata subsist yang berarti hidup. Pertanian yang subsisten diartikan sebagai suatu sistem bertani dimana tujuan utama dari si petani adalah untuk memenuhi keperluan hidupnya beserta keluarganya. Namun dalam menggunakan definisi yang demikian sejak semula harus diingat bahwa tidak ada petani susbsisten yang begitu homogen, yang begitu sama sifat-sifatnya satu dari yang lain. Dalam kenyataannya petani subsisten ini sangat berbeda-beda dalam hal luas dan kesuburan tanah yang dimilikinya dan dalam kondisi-kondisi sosial ekonomi lingkungan hidupnya.
Apa yang sama di antara mereka adalah bahwa mereka memandang pertanian sebagai sarana pokok untuk memenuhi kebutuhan keluarga yaitu melalui hasil produksi pertanian itu.  Dengan definisi tersebut sama sekali tidak berarti bahwa petani susbsisten tidak berfikir dalam pengertian biaya dan penerimaan. Mereka juga berpikir dalam pengertian itu, tetapi tidak dalam bentuk pengeluaran biaya tunai, melainkan dalam kerja, kesempatan beristirahat dan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan upacara adat dan lain-lain.

2.3       STRATEGI  PEMECAHAN MASALAH EFISIENSI KERJA PETANI
Dewasa ini strategi pembangunan nasional khususnya pembangunan sektor pertanian dipusatkan pada upaya mendorong percepatan perubahan struktural, meliputi proses perubahan dari sistem pertanian tradisional ke sistem pertanian yang maju dan modern, dari sistem pertanian subsistem ke sistem pertanian yang berorientasi pasar dan dari kedudukan ketergantungan kepada kedudukan kemandirian.
Perubahan struktural tersebut merupakan langkah dasar yang meliputi pengalokasian sumber daya (baik alam, manusia maupun mekanik), penguatan kelembagaan dan pemberdayaan manusia. Dalam pelaksanaannya harus meliputi langkah-langkah nyata untuk meningkatkan akses kepada aset produktif berupa teknologi harus dapat dimanfaatkan dan dikembangkan untuk tujuan-tujuan yang lebih maju dan lebih bermanfaat termasuk antara lain pengolahan tanah, pemberian air pemilihan bibit unggul, pemupukan, pengendlaian hama dan penyakit, dan pemanenan secara bijaksana.
Pembangunan pertanian harus diarahkan pada terciptanya tenaga petani yang terampil dalam mengelola usaha taninya. Juga terbentuknya masyarakat petani yang maju, bersemangat profesional sehingga mampu menghadapi tantangan dan permasalahan dalam melaksanakan usaha taninya.
Di Indonesia dapat dicatat adanya berbagai tantangan dan permasalahan dalam pengelolaan usaha tani yang masing-masing mempunyai kekhususan yang berbeda-beda seperti kenaikan produksi, peningkatan di bidang pemasaran dan sistem kredit, serta efisiensi. Dari berbagai ragam tantangan dan permasalahan tersebut yang sering kali terlupakan oleh pengamat adalah efisiensi dalam pengelolaan usaha tani terutama yang berhubungan dengan kerja petani.
1.         Perlunya Efisiensi
Menurut Clifford Geertz dalam Involusi Pertanian, pemakaian tenaga kerja di sektor pertanian di Indonesia tergolong sangat besar dibanding negara lain. Di Amerika Serikat kurang lebih 0,002 Kw/ha, Jepang 0,014 Kw/ha, sedang Indonesia 0,127 Kw/ha. Tetapi tenaga kerja manusia di Jepang dan Amerika Serikat lebih intensif dibanding di Indonesia. Terlihat adanya perbedaan nyata antara petani Indonesia dengan petani Jepang.
Langkah yang menyebabkan pertanian di Jepang jauh meninggalkan Indonesia dalam jangka waktu yang sama adalah produktivitas pekerja. Yang utama dalam produktivitas pekerja (petani) Jepang adalah terjadinya perbaikan yang esensial dalam praktik pertanian Jepang sesuai dengan produksi kecil yang efisien. Selain itu di Jepang produktivitas pekerja (petani) bukan hanya diperhitungkan per ha sawah, tetapi penggunaan tenaga kerja dimanfaatkan se efisien mungkin dengan menggunakan perhitungan yang baik.
Di Indonesia, efisiensi yang diartikan sebagai kedayagunaan suatu sumber tenaga dapat menangani suatu bahan, masih belum mendapat perhatian secara serius. Padahal fungsi perbaikan pertanian adalah menaikkan pendapatan, kesejahteraan, taraf hidup dan daya beli petani. Sangat kecilnya efisiensi petani merupakan hambatan bagi faktor-faktor lain yang merupakan penetrasi pembangunan pertanian.
Perbaikan taraf hidup petani memang tidak dilakukan dengan hanya memberi landreform (Redistribusi Tanah Pertanian) atau credit reform (Pemberian Kredit Usaha Tani), tetapi perlu juga diperhatikan situasi kerja petani. Situasi kerja yang monoton dengan hasil yang rendah menyebabkan petani mengalami kejenuhan. Ditilik lebih jauh, perlu diakui bahwa kejenuhan petani ini terus berlangsung. Hal ini disebabkan oleh miskinnya inovasi dan tiadanya gebrakan-gebrakan baru yang menggairahkan petani.
Hambatan pembangunan dalam sektor pertanian di Indonesia adalah lambatnya kemajuan teknologi. Kontras teknologi selalu dipersoalkan. Tingkat teknologi yang rendah menyebabkan petani sulit memperoleh hasil dalam proses produksi yang maksimal. Kehilangan hasil dalam proses produksi sangat besar, sementara biaya yang diperlukan sangat tinggi. Contoh paling sederhana adalah dalam memanen padi. Untuk 9 kg gabah harus dibayar 1 kg gabah. Jika total hasil panen padi (dalam satu musim tanam) dalam 1 ha adalah 9 ton gabah, maka biaya pemanenan yang dikeluarkan sebesar 1 ton gabah.
Efisiensi teknologi yang memperkecil tingkat kejerihan kerja dengan produktivitas tinggi masih dicemburui. Harapan memperkenalkan teknologi yang efisien selalu dihantui oleh pembengkakan pengangguran terutama di wilayah perdesaan. Akibatnya jumlah tenaga pengangguran semu dalam sektor pertanian di Indonesia sangat besar. Tidak jelas lahirnya tenaga kerja semu ini karena efektivitas kerja rendah yang menyerap banyak tenaga manusia atau memang karena distribusi kerja yang tidak merata.
2.         Tuntutan Inovasi
Dalam arah kebijakan pembangunan nasional, pembangunan sektor pertanian diarahkan untuk meningkatkan pendapatan kesejahteraan, daya beli, taraf hidup, kapasitas dan kemandirian serta akses masyarakat pertanian dalam proses pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas produksi serta distribusi dan keanekaragaman hasil pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan pada pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan yang berbudaya industri, maju dan efisien ditingkatkan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pembangunan pertanian memang sudah saatnya menganut pendekatan industri bukan lagi agraris, artinya menangani pertanian secara industri bukan lagi tergantung sepenuhnya kepada faktor alam. Pengertian industri dalam hal ini bukan semata-mata mendirikan pabrik, tetapi yang lebih mendasar adalah mentransformasikan budaya (pola pikir, sikap mental dan perilaku) masyarakat industri di kalangan para petani.
Kebudayaan industri tersebut antara lain mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, pertama pengetahuan merupakan landasan utama dalam menentukan langkah atau tindakan dalam pengambilan keputusan (bukan berdasarkan kebiasaan semata). Kedua, perekayasan harus menggantikan ketergantungan pada faktor alam. Ketiga, kemajuan teknologi merupakan sarana utama dalam pemanfaatan sumber daya. Keempat, efisiensi dan produktivitas sebagai dasar utama dalam alokasi sumber daya agar penggunaan sumber daya tersebut hemat. Kelima, mekanisme pasar merupakan media utama transaksi barang dan jasa. Keenam, profesionalisme merupakan karakter yang menonjol.
Untuk memenuhi tuntutan di atas, alternatif inovasi yang sampai sekarang tampaknya relevan walaupun tidak terlalu baru adalah penerapan mekanisasi pertanian (penggunaan alat dan mesin pertanian). Sudah saatnya dimulai penerapan mekanisasi pertanian dalam sistem pertanian nasional meskipun tetap dilakukan secara selektif.
Upaya menuju pertanian industri antara lain dapat dikembangkan dengan peningkatan penggunaan alat dan mesin pertanian dalam pengolahan tanah dan penanganan pasca panen. Salah satu keuntungan yang diperoleh adalah terjadinya peningkatan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan sumber daya alam.
3.         Mekanisasi Dan Distribusi Kerja
Penggunaan alat dan mesin pertanian saat ini memang sudah merupakan suatu kebutuhan. Efisiensi tinggi saat ini harus mulai diperkenalkan kepada petani. Hal ini tentu beralasan karena tenaga kerja yang digunakan saat ini tidak mempunyai kesinambungan (kontinuitas). Seorang buruh tani hanya akan dibutuhkan pada saat pengolahan tanah dan panen. Pada proses lain mereka kurang dibutuhkan, akhirnya terjadi pengangguran yang tidak kentara (disguised unemployment). Pembuangan waktu yang lama dan sia-sia ini menyebabkan efisiensi menjadi lebih rendah.
Berdasarkan data dalam Involusi Pertanian, pada saat pengolahan tanah, traktorisasi di Indonesia sangat rendah dibanding negara lain. Pada hakikatnya Indonesia masih sangat ketinggalan pada pengembangan traktor. Pemakaian traktor di Indonesia hanya 0,005 Kw/ha. Amerika Serikat 1,7 Kw/ha, Belanda 3,6 Kw/ha dan Jepang 5,6 Kw/ha. Rendahnya pemakaian traktor ini disebabkan oleh rendahnya perkembangan mekanisasi di Indonesia.
Akibatnya, untuk menggarap tanah seluas 1 ha diperlukan waktu berhari-hari dan melibatkan banyak tenaga manusia. Tenaga manusia akhirnya tidak mendapat harga yang layak sehingga produktivitas juga semakin rendah. Tenaga manusia adalah tenaga riskan, hanya digunakan paling cepat 4 bulan sekali menjadi buruh tani.

BAB III
PENUTUP
Untuk mewujudkan sektor pertanian yang maju, modern,berdaya saing, dan mampu memberikan kesejahteraan bagi para pelakunya diperlukan upaya-upaya yang terstruktur dan terukur. Beberapa upaya yang telah dilakukan untuk peningkatan produksi pangan antara lain :
  1. Penyusunan Roadmap Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) menuju surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014.
  2. Audit lahan sawah di pulau Jawa.
  3. Peningkatan produktifitas melalui peningkatan mutu benih.
  4. Gerakan peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi ( GP3K ).
  5. Penelitian dan pelepasan varietas unggul.
  6. Introduksi teknologi pupuk berimbang.
  7. Perluasan areal tanam.
  8. Penyuluhan dan pendampingan.
Dalam rangka menentukan strategi dan kebijakan pertanian dan pangan pada masa depan kiranya perlu mempertimbangkan beberapa aspek berikut :
  1. Strategi pengembangn pertanian di sektor hulu lebih di orientasikan pada pengembangan yang berbasis pasar dan agribisnis modern sehingga terkait dengan bidang lainnya seperti penyediaan bibit unggul yang memadai, perluasan subsidi pupuk, pelaksanaan dan pemantauan kredit pertanian yang murah, teknik dan manajemen pertanian yang profesional.
  2. Mekanisme penunjukkan rekanan impor beras harus dilakukan secara transparan agar tercapai tingkat harga yang rasional di tingkat konsumen tanpa merugikan petani.
  3. Kebijakan diversifikasi produk pangan melalui sosialisasi dengan pendekatan ekonomi sehingga dapat mendorong motivasi petani menanam jenis tanamanalternatif selain beras.
  4. Pembangunan sektor pertanian harus dilakukan secara terintegrasi dengan pembangunan di daerah perdesaan dalam kerangka pembangunan kesejahteraaan masyarakat petani di desa.



























DAFTAR PUSTAKA
http://www.slideshare.net/yudie82/makalah-permasalahan-dan-strategi-pengembangan-sektor-pertanian

STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN



BAB I
PENDAHULUAN
Meski begitu, eskalasi harga tersebut juga menjadi peluang (dan tantangan) baru untuk merumuskan strategi pembangunan pertanian yang kompatibel dengan perubahan zaman. Pembangunan pertanian di Indonesia sebenarnya telah menunjukkan kontribusi yang sukar terbantahkan, bahwa peningkatan produktivitas tanaman pangan melalui varietas unggul, lonjakan produksi peternakan dan perikanan telah terbukti mampu mengatasi persoalan kelaparan dalam empat dasawarsa terakhir. Pembangunan perkebunan dan agroindustri juga telah mampu mengantarkan pada kemajuan ekonomi bangsa, perbaikan kinerja ekspor, dan penyerapan tenaga kerja.
Singkatnya, kinerja perjalanan pertanian Indonesia jauh lebih komprehensif dibandingkan dengan angka 3,51 persen per tahun rata-rata pertumbuhan pada periode 1960-2006 dihitung dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO).
Pada tahap awal atau fase konsolidasi 1967-1978 sektor pertanian hanya tumbuh 3,38 persen, kemudian melonjak sangat tinggi dan mencapai 5,72 persen pada periode 1978-1986, kemudian kembali melambat 3,39 persen pada fase dekonstruksi 1986-1997 dan terus melambat 1,57 persen sampai periode krisis ekonomi.
Pada masa krisis ekonomi itu, performa baik yang dicapai subsektor perkebunan dan peternakan hampir tidak membawa dampak berarti karena daya beli yang terus menurun. Pada era reformasi (2001-2006), pertanian Indonesia telah tumbuh 3,45 persen per tahun, dan belum dapat dikatakan telah menuju ke arah yang benar (selengkapnya lihat Arifin, 2007).











BAB II
PEMBAHASAN
STRATEGI PEMBANGUNANA PERTANIAN
Selama empat dasawarsa terakhir, strategi pembangunan pertanian mengikuti tiga prinsip penting: (1) broad-based dan terintegrasi dengan ekonomi makro, (2) pemerataan dan pemberantasan kemiskinan, dan (3) pelestarian lingkungan hidup. Dua prinsip utama telah menunjukkan kinerja yang baik, seperti diuraikan di atas, karena dukungan jaringan irigasi, jalan-jembatan, perubahan teknologi, kebijakan ekonomi makro, dan sebagainya.
Konsep revitalisasi pertanian yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pola pikir dan strategi besar di atas. Karena fenomena Revolusi Hijau serta perspektif konsistensi tersebut, pencapaian swasembada beras di era 1980-an juga telah diikuti oleh peningkatan kesejahteraan dan pemerataan pendapatan petani beras di Indonesia, pemerataan sektor pedesaan dan perkotaan.
Pada waktu itu sentra produksi beras di Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan lain-lain juga identik dengan kesejahteraan dan pemerataan pendapatan.
Prinsip ketiga tentang pelestarian lingkungan hidup memang belum banyak menunjukkan hasil karena baru dikembangkan secara serius pasca-KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992. Singkatnya, pembangunan pertanian harus mampu membawa misi pemerataan apabila ingin berkontribusi pada pemberantasan kemiskinan serta menjamin tingkat keberlanjutan pembangunan itu sendiri.
v  Strategi baru
Berikut ini adalah strategi baru yang coba ditawarkan sehubungan dengan determinan pola baru pembangunan pertanian di masa mendatang. Strategi yang telah terbukti dan teruji selama ini tidak harus ditinggalkan, hanya perlu dilengkapi dengan beberapa dimensi berikut:
Pertama, pembangunan pertanian wajib mengedepankan riset dan pengembangan (R&D), terutama yang mampu menjawab tantangan adaptasi perubahan iklim. Misalnya, para peneliti ditantang untuk menghasilkan varietas padi yang mampu bersemi di pagi hari, ketika temperatur udara tidak terlalu panas. Kisah padi gogo-rancah pada era 1980-an yang mampu beradaptasi dan tumbuh di lahan kering dan tadah hujan, kini perlu disempurnakan untuk menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dari sekadar 2,5 ton per hektar. Bahwa pertanian Indonesia tidak harus bertumpu hanya pada lahan di Jawa tampaknya telah disepakati, hanya perlu diwujudkan secara sistematis. Misalnya, varietas yang baru perlu diuji multilokasi dan uji adaptasi di sejumlah daerah kering dengan memberdayakan jaringan universitas daerah dan Balai Pengembangan Teknologi Pertanian yang tersebar di daerah.
Kedua, integrasi pembangunan ketahanan pangan dengan strategi pengembangan energi, termasuk energi alternatif. Strategi ini memang baru berada pada tingkat sangat awal sehingga Indonesia tidak boleh salah melangkah. Indonesia memang terlambat sekali dalam menyandingkan ketahanan pangan dengan energi alternatif. Maksudnya, Indonesia butuh sesuatu yang lebih besar dari sekadar kebijakan pada tingkat Instruksi Presiden Nomor 1/2006 tentang Bahan Bakar Nabati dan Peraturan Presiden Nomor 5/2006 tentang Diversifikasi Energi.
Ketiga, pembangunan pertanian perlu secara inheren melindungi petani produsen (dan konsumen). Komoditas pangan dan pertanian mengandung risiko usaha seperti faktor musim, jeda waktu (time-lag), perbedaan produktivitas dan kualitas produk yang cukup mencolok. Mekanisme lindung nilai (hedging), asuransi tanaman, pasar lelang dan resi gudang adalah sedikit saja dari contoh instrumen penting yang mampu mengurangi risiko usaha dan ketidakpastian pasar. Operasionalisasi dari strategi ini, perumus dan administrator kebijakan di tingkat daerah wajib mampu mewujudkannya menjadi suatu langkah aksi yang memberi pencerahan kepada petani, memberdayakan masyarakat, dan memperkuat organisasi kemasyarakatan untuk mampu berperan dalam pasar berjangka komoditas yang lebih menantang. Di sinilah pertanian tangguh dan berdaya saing akan dapat terwujud.

MASALAH PEMBANGUNA PERTANIAN
Persoalan ketahanan pangan dan modernisasi sektor pertanian adalah masalah krusial dan membutuhkan penanganan serius karena sekitar 60% penduduk Indonesia dan mayoritas penduduk miskin tinggal di perdesaan dan mengandalkan hidupnya dari sektor pertanian.
Tapi paradoksnya, di negeri ini tak ada kegiatan ekonomi yang memiliki kisah semuram sektor pertanian. Peminggiran pembangunan sector pertanian yang dilakukan 30 tahun lebih telah menempatkan para pelaku di sektor ini dalam kondisi hamper “sekarat”. Para petani selalu berada pada barisan yang selalu kalah, baik oleh alam maupun kebijakan negara.
Kebijakan pembangunan ekonomi yang dikerjakan secara besar-besaran  lewat strategi industrialisasi ternyata hanya mementingkan sektor industri dan meninggalkan sektor pertanian. Celakanya, jumlah tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian ini justru masih banyak.
Sektor ini sesungguhnya juga banyak menyerap tenaga kerja serta mampu menekan angka kemiskinan dan pengangguran. Data survei tahun 2009 BPS memperlihatkan sektor pertanian masih mampu menciptakan lapangan kerja andalan bagi 41 juta orang di perdesaan, 48,2% di antaranya pengusaha pertanian. Sebaliknya, sektor industri dengan sumbangan terhadap pendapatn nasional (PDB) yang terus meroket, tetapi faktanya tidak mampu menyerap tenaga kerja.
Ada dua masalah mendasar yang sampai saat ini masih menggantung di sektor pertanian. Pertama, soal kepemilikian lahan yang luar biasa kecil. Menurut data BPS, apabila pada 1983 rata-rata kepemilikan lahan mencapai 0,9 hektare saja, pada 2003 luas lahan menyusut menjadi 0,78 hektare. Dengan struktur kepemilikan seperti itu, maka atribut-atribut semacam efisiensi dan produktivitas jelas jauh dari kenyataan.
Kedua, menyingkirkan kondisi-kondisi yang menyebabkan sektor pertanian (petani) selalu kalah. Ketika berhadapan dengan alam, teknologi, dan kelembagaan, sektor pertanian selama ini hampir selalu pada situasi subordinat, terdesak secara mengenaskan.
Realitas tersebut masih ditambah dengan fakta ketimpangan penguasaan lahan. Studi yang dilakukan Yustika (2003) menunjukkan, sebagian besar petani memang memiliki lahan yang sangat sempit, bahkan di antaranya banyak yang tidak punya sepetak pun. Para petani pun akhirnya cuma jadi buruh tani.
v  Permasalahan Dan Kebijakan Di Bidang Pertanian 
Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum kebijakan pertanian kita adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan kesejahteraan petani meningkat. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah baik di pusat maupun di daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada yang berbentuk Undang-undang, Peraturan-peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen, keputusan Gubernur dan lain-lain. Peraturan ini dapat dibagi menjadi dua kebijakan-kebijakan yang bersifat pengatur (regulating policies) dan pembagian pendapatan yang lebih adil merata (distributive policies). Kebijakan yang bersifat pengaturan misalnya peraturan rayoneering dalam perdagangan/distribusi pupuk sedangkan contoh peraturan yang sifatnya mengatur pembagian pendapatan adalah penentuan harga kopra minimum yang berlaku sejak tahun 1969 di daerah-daerah kopra di Sulawesi. 
Melihat persoalan di atas, maka intervensi dan keberpihakan pemerintah mutlak diperlukan untuk melindungi petani dari jerat pasar yang sering kali tidak ramah. Dari perspektif ini, setidaknya ada dua kebijakan yang layak diperhatikan secara serius.
Pertama, dalam dataran substantif perlu dipikirkan langkah-langkah konkret untuk menyelesaikan dua masalah mendasar di atas, yakni menyangkut kepemilikian luas lahan dan mekanisme ekonomi yang selama ini menjerat petani. Pada level ini pemerintah perlu membicarakan masalah prioritas terkait pemulihan ekonomi yang sedang dikerjakan.
Kedua, dalam dataran pragmatis, pemerintah harus menyusun cetak biru soal pertanian nasional menyangkut potensi dan identifikasi produk yang harus dikembangkan.  Pada fase ini, pemerintah harus mendaur ulang seluruh kebijakan pertanian, dari mulai masalah perkreditan, subsidi, harga input dan output, hingga soal distribusi.
Persoalan yang selalu tidak mudah diatasi adalah persoalan keadilan. Hampir setiap kebijakan jarang akan disambut dengan baik oleh semua pihak. Selau ada saja pihak yang memperoleh manfaat lebih besar dari pihak lainnya dan bahkan ada yang dirugikan. Itulah sebabnya masalah kebijakan pertanian bukanlah terletak pada banyak sedikitnya campur tangan pemerintah, tetapi pada berhasil tidaknya kebijakan itu mencapai sasarannya dengan sekaligus mencari keadilan bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu kebijakan pertanian yang lebih baik adalah yang dapat mencapai tujuan nasional untuk menaikkan produksi secara optimal dengan perlakuan yang adil pada pihak-pihak yang bersangkutan itu.

1.      Kebijakan Harga
Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan yang terpenting di banyak negara dan biasanya digabung dengan kebijakan pendapatan sehingga disebut kebijakan harga dan pendapatan (price and economic policy). Segi harga dari kebijakan itu bertujuan untuk mengadakan stabilitas harga, sedangkan segi pendapatannya bertujuan agar pendapatan petani tidak terlalu berfluktuasi dari musim ke musim dan dari tahun ke tahun. Kebijakan harga dapat mengandung pemberian penyangga (support) atas harga-harga hasil pertanian supaya tidak terlalu merugikan petani atau langsung mengandung sejumlah subsidi tertentu bagi petani. Di banyak negara seperti; Amerika Serikat, Jepang, dan Australia banyak sekali hasil pertanian seperti gandum, kapas, padi, dan gula yang mendapat perlindungan pemerintah berupa harga penyangga dan atau subsidi. Indonesia baru mulai mempraktekkan kebijakan harga untuk beberapa hasil pertanian sejak tahun 1969. Secara teoritis kebijakan harga yang dapat dipakai untuk mencapai tiga tujuan yaitu: 
stabilitas harga hasil-hasil pertanian terutama pada tingkat petani meningkatkan pendapatan petani melalui pebaikan dasar tukar (term of trade) memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi. 
Kebijakan harga di Indonesia terutama ditekankan pada tujuan pertama yaitu Stabilitas harga hasil-hasil pertanian dalam keadaan harga-harga umum yang stabil berarti pula terjadi kestabilan pendapatan. Tujuan yang kedua banyak sekali dilaksanakan pada hasil-hasil pertanian di negara-negara yang sudah maju dengan alasan pokok pendapatan rata-rata sektor pertanian terlau rendah dibandingkan dengan penghasilan di luar sektor pertanian.
Tujuan yang kedua ini sulit untuk dilaksanakan di negara-negara yang jumlah petaninya berjuta-juta dan terlalu kecil-kecil seperti di Indonesia karena persoalan administrasinya sangat kompleks. Pada prinsipnya kebijakan harga yang demikian ini merupakan usaha memindahkan pendapatan dari golongan bukan pertanian ke golongan pertanian, sehingga hal ini bisa dilaksanakan dengan mudah di negara-negara yang sudah maju dan kaya, dimana golongan penduduk di luar pertanian jumlahnya jauh lebih besar dengan pendapatan lebih tinggi dibanding golongan penduduk pertanian. Di negara-negara ini penduduk sektor pertanian rata-rata di bawah 10 persen dari seluruh penduduk, sedangkan di negara kita masih antara 60 persen-70 persen.
Tujuan kebijakan yang ketiga dalam praktek sering dilaksanakan oleh negara-negara yang sudah maju bersamaan dengan tujuan kedua yaitu dalam bentuk pembatasan jumlah produksi dengan pembayaran kompensasi. Berdasarkan ramalan harga, pemerintah membuat perencanaan produksi dan petani mendapat pembayaran kompensasi untuk setiap kegiatan produksi yang diistirahatkan. Di negara kita, dimana hasil-hasil pertanian pada umumnya belum mencukupi kebutuhan, maka kebijakan yang demikian tidak relevan. Selain kebijakan harga yang menyangkut hasil-hasil pertanian, peningkatan pendapatan petani dapat dicapai dengan pemberian subsidi pada harga sarana-sarana produksi seperti pupuk/insektisida. Subsidi ini mempunyai pengaruh untuk menurunkan biaya produksi yang dalam teori ekonomi berarti menggeser kurva penawaran ke atas.

2.      Kebijakan Pemasaran 
Di samping kebijakan harga untuk melindungi petani produsen, pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan khusus dalam kelembagaan perdagangan dengan tujuan yang sama, tetapi dengan tekanan pada perubahan mata rantai pemasaran dari produsen ke konsumen, dengan tujuan utama untuk memperkuat daya saing petani. Di negara-negara Afrika seperti Nigeria dan Kenya apa yang dikenal dengan nama Badan Pemasaran Pusat (Central Marketing Board) berusaha untuk mengurangi pengaruh fluktuasi harga pasar dunia atas penghasilan petani. Badan pemasaran ini sangat berhasil di Inggris yang dimulai sesudah depresi besar tahun 1930 untuk industri bulu domba, susu, telor dan kentang. Di Indonesia Badan Pengurusan Kopra, Badan Pemasaran Lada pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama dengan Badan pemasaran Pusat di Afrika dan Inggris.
Masalah yang dihadapi di Indoensia adalah kurangnya kegairahan berproduksi pada tingkat petani, tidak ada keinginan untuk mengadakan penanaman baru dan usaha-usaha lain untuk menaikkan produksi karena persentase harga yang diterima oleh petani relatif kecil dibandingkan dengan bagian yang diterima golongan-golongan lain.
Selain kebijakan pemasaran hasil-hasil tanaman perdagangan untuk ekspor, kebijakan ini meliputi pula pengaturan distribusi sarana-sarana produksi bagi petani. Pemerintah berusaha menciptakan persaingan yang sehat di antara para pedagang dengan melayani kebutuhan petani seperti pupuk, insektisida, pestisida dan lain-lain sehingga petani akan dapat membeli sarana-sarana produksi tersebut dengan harga yang relatif tidak terlalu tinggi. Jadi disini jelas bahwa kebijakan pemasaran merupakan usaha campur tangan pemerintah dalam bekerjanya kekuatan-kekuatan pasar. Di satu pihak pemerintah dapat mengurangi pengaruh kekuatan-kekuatan pasar supaya tidak terlalu merugikan pedagang dan petani, tetapi di pihak lain persaingan dapat didorong untuk mencapai efisiensi ekonomi yang tinggi. Dalam praktek kebijakan pemasaran dilaksanakan secara bersamaan dengan kebijakan harga.

3.      Kebijakan Struktural
Kebijakan struktural dalam pertanian dimaksudkan untuk memperbaiki strukutur produksi misalnya luas pemilikan tanah, pengenalan dan pengusahaan alat-alat pertanian yang baru dan perbaikan prasarana pertanian pada umumnya baik prasarana fisik maupun sosial ekonomi.
Kebijakan struktural ini hanya dapat terlaksana dengan kerjasama yang erat dari beberapa lembaga pemerintah. Perubahan struktur yang dimaksud disini tidak mudah untuk mencapainya dan biasanya memakan waktu lama. Hal ini disebabkan sifat usahatani yang tidak saja merupakan unit usaha ekonomi tetapi juga merupakan bagian dari kehidupan petani dengan segala aspeknya. Oleh karena itu tindakan ekonomi saja tidak akan mampu mendorong perubahan struktural dalam sektor pertanian sebagaimana dapat dilaksanakan dengan lebih mudah pada sektor industri. Pengenalan baru dengan penyuluhan-penyuluhan yang intensif merupakan satu contoh dari kebijakan ini. Kebijakan pemasaran yang telah disebutkan di atas sebenarnya dimaksudkan pula untuk mempercepat proses perubahan struktural di sektor pertanian dalam komoditi-komoditi pertanian. Pada bidang produksi dan tataniaga kopra, lada, karet, cengkeh dan lain-lain. Dalam kenyataannya pelaksanaan kebijakan harga, pemasaran dan struktural tidak dapat dipisahkan, dan ketiganya saling melengkapi.

4.      Kebijakan Pertanian dan Industri 
Ciri-ciri pokok perbedaan antara pertanian dan industri adalah: 
a.       Produksi pertanian kurang pasti dan risikonya besar karena tergantung pada alam yang kebanyakannya di luar kekuasaan manusia untuk mengontrolnya, sedangkan industri tidak demikian. 
b.      Pertanian memproduksi bahan-bahan makanan pokok dan bahan-bahan mentah yang dengan kemajuan ekonomi dan kenaikan tingkat hidup manusia permintaannya tidak akan naik seperti pada permintaan atas barang-barang industri.
c.       Pertanian adalah bidang usaha dimana tidak hanya faktor-faktor ekonomi saja yang menentukan tetapi juga faktor-faktor sosiologi, kebiasaan dan lain-lain memegang peranan penting. Industri lebih bersifat lugas (zakelijk). 
Ketiga ciri khusus pertanian ini nampak dalam teori ekonomi sebagai perbedaan dalam respons permintaan dan penawaran atas perubahan-perubahan harga.
Elatisitas harga atas permintaan dan penawaran hasil-hasil pertanian jauh lebih kecil daripada hasil-hasil industri. Misalnya elastisitas harga atas permintaan radio, buku-buku, mobil dan lain-lain, jauh lebih tinggi daripada elatisitas harga atas permintaan beras dan bahan pakaian. Hal ini disebabkan pendapatan sektor industri pada umumnya lebih tinggi daripada pendapatan sektor pertanian maka elastisitas pendapatan atas permintaan barang-barang hasil industri lebih besar daripada atas bahan makanan pokok.


5.      Pendapatan Penduduk Desa dan Kota 
Perbedaan kebijakan antar sektor pertanian dan industri dapat dilihat pula dalam keperluan akan kebijakan yang berbeda antara penduduk kota dan penduduk desa. Perbedaan pendapatan antara penduduk kota dan penduduk pedesaan adalah sedemikian rupa sehingga mempunyai akibat dalam pola pengeluaran konsumsi dan perilaku ekonomi lain-lainnya.
Ada tiga hal yang meyebabkan rata-rata pendapatan penduduk kota lebih tinggi dibanding penduduk desa yaitu: 
a.    kestabilan dan kemantapan pendapatan penduduk kota lebih besar dibanding pendapatan penduduk desa 
b.    lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan yang dapat mendorong kegiatan ekonomi di kota lebih banyak dibandingkan di desa 
c.    lebih banyaknya fasilitas pendidikan dan kesehatan di kota yang memungkinkan rata-rata produktivitas tenaga kerja di kota lebih tinggi. 
Salah satu upaya untuk mengurangi perbedaan pendapatan ini adalah dengan menambah persediaan modal di desa serta mengurangi jumlah tenaga kerja di pedesaan dan diserap bagi lapangan industri di kota-kota. Dengan lebih banyaknya investasi di desa misalnya dalam alat-alat pertanian yang lebih modern, huller , traktor dan juga dalam pembangunan-pembangunan prasarana fisik seperti jembatan-jembatan baru, bendungan irigasi dan lain-lain maka timbul adanya keperluan akan peningkatan keterampilan tenaga kerja. Seorang petani yang mengerjakan sawah dengan bajak atau traktor dalam waktu yang sama akan mampu menyelesaikan luas sawah yang lebih besar daripada petani lain yang hanya menggunakan cangkul. Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya adalah: Adanya tambahan modal yang berupa pajak dan ternak serta mesin traktor pada petani pertama Adanya keahlian dan keterampilan khusus yang diperlukan oleh petani yang menjalankan bajak atau traktor itu. 

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN
            Pembangunan merupakan suatu proses yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Pada era reformasi, paradigma pembangunan pertanian meletakkan petani sebagai subyek, bukan semata-mata sebagai peserta dalam mencapai tujuan nasional. Karena itu pengembangan kapasitas masyarakat guna mempercepat upaya memberdayakan ekonomi petani, merupakan inti dari upaya pembangunan pertanian.
            Upaya tersebut dilakukan untuk mempersiapkan masyarakat pertanian menjadi mandiri dan mampu memperbaiki kehidupannya sendiri. Peran Pemerintah adalah sebagai stimulator dan fasilitator, sehingga kegiatan sosial ekonomi masyarakat petani dapat berjalan dengan sebaik-baiknya. Pembangunan pertanian yang berhasil harus memiliki langkah-langkah kebijakan yang diambil yaitu meliputi usaha intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi, dan rehabilitasi, yang intinya tercakup dalam pengertian Trimarta Pembangunan pertanian yaitu kebijaksanaan usaha tani terpadu, komoditi terpadu, dan wilayah terpadu.
            Di samping itu juga harus diperhatikan tiga komponen dasar yang harus dibina yaitu petani, komoditi hasil pertanian, dan wilayah pembangunan dimana kegiatan pertanian berlangsung, pembinaan terhadap petani  diarahkan sehingga menghasilkan peningkatan pendapatan petani. Pengembangan komoditi hasil pertanian diarahkan benar-benar berfungsi sebagai sektor yang menghasilkan bahan pangan, bahan ekspor, dan bahan baku bagi industry.
Pembinaan terhadap wilayah pertanian ditujukan agar dapat menunjang pembanngunan wilayah seutuhnya dan tidak terjadi ketimpangan antar wilayah. (Moehar Daniel, 1994)
Sebaliknya, suatu pertanian berkelanjutan lebih mengandalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia seperti bibit lokal, sumber air, matahari, dan teknologi yang ramah lingkungan; dan juga sangat mengutamakan pemanfaatan pupuk kandang (kompos) dan pengendali hama alami atau pestisida dari bahan- bahan alami. Oleh karena itu, inti pemahaman pertanian berkelanjutan adalah sangat mengutamakan pemanfaatan sumber daya lokal beserta pengetahuan lokal.
Pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan sumber daya alam dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan yang dilaksanakan sedemikian rupa dapat menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang (FAO, 1989). Pembangunan di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan harus mampu mengkonservasi tanah, air, tanaman dan sumber genetik binatang, tidak merusak lingkungan, secara teknis tepat guna, secara ekonomi layak dan secara sosial dapat diterima. Pertanian berkelanjutan adalah suatu konsep pemikiran masa depan . Pertanian berkelanjutan adalah pertanian yang berlanjut untuk saat ini , saat yang akan datang dan selamanya. Artinya pertanian tetap ada dan bermanfaat bagi semuanya dan tidak menimbulkan bencana bagi semuanya. Jadi dengan kata lain pertanian yang bisa dilaksanakan saat ini, saat yang akan datang dan menjadi warisan yang berharga bagi anak cucu kita.

BAB III
PENUTUP
Pada orde baru, “politik swasembada” menjadi bendera utama pengelolaan pembangunan pertanian, dengan mengembangkan dan menerapkan program yang sebenarnya sudah dicanangkan sebelumnya, yaitu intensifikasi dengan penerapan teknologi, ekstensifikasi, rehabilitasi dan berbagai program lain. Keberhasilan program swasembada beras sebagai monumen keberhasilan pembangunan pertanian orde baru, dicapai setelah lebih dari 15 tahun program Pelita dijalankan dan penetapan pertanian sebagai prioritas (sementara sektor lain menjadi penunjang), menjadikan pembangunan pertanian sebagai program di semua lini pemerintahan. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan pertanian pada masa itu lebih dari 60 % ditentukan oleh faktor infrastruktur dan kelembagaan penunjang, sedangkan sekitar 40 % sendiri ditentukan oleh berbagai usaha yang dilakukan internal sektor pertanian sendiri. Namun setelah pertengahan Tahun 1980-an –setelah industri ditempatkan sebagai prioritas pertama- ekonomi Indonesia kemudian memang berkembang lebih cepat, tetapi juga menjadi lebih rapuh yang berakhir dengan krisis finansial Tahun 1997/1998.
Pada masa transisi reformasi, politik pertanian Indonesia terbawa oleh arus perkembangan politik nasional yang lebih besar. Departemen Pertanian melakukan pembangunan pertanian yang terdesentralisasi sesuai dengan era politik yang dianut pada masa tersebut. Selain itu arah pertanian menjadi lebih berdaya saing yang mencerminkan perlunya usaha menghadapi tekanan persaingan yang semakin besar, berkerakyatan yang mencerminkan semangat partisipasi dan berkelanjutan sejalan dengan peningkatan kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan.










DAFTAR PUSTAKA